25 Agustus 2015

Sekali Merdeka Tetap Merdeka!

Share

Agustus merupakan bulan keramat bagi bangsa kita. Baru saja kita memperingati hari kemerdekaan dengan gegap gempita dan sujud penuh syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun baiklah kita meluangkan sedikit waktu untuk merenungkan makna yang terkandung di dalam pekik merdeka.

 

Apakah pekik heroik tersebut masih relevan pada hari ini, 70 tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan?

 

Saat ini justru menjadi saat yang tepat untuk berkontemplasi mencari makna di balik arti kemerdekaan kita. Kemerdekaan politis yang telah kita peroleh dengan pengorbanan jiwa raga para pejuang adalah sebuah “jembatan emas“ yang mengantarkan kita membangun “istana gading“ di seberang jembatan tersebut.

 

Bagi para pendiri bangsa, kemerdekaan jelas bukan tujuan akhir perjuangan melainkan sarana agar negara yang sudah memperoleh kemerdekaan politis ini dapat membangun dirinya sesuai cita-cita.

 

Merdeka dari penjajah sudah kita capai. Namun para penjajah dalam bentuk lainnya masih bercokol di negara kita. Kejujuran untuk melihat persoalan yang kita hadapi serta tekad dan kerja keras dalam semangat gotong royong mutlak diperlukan untuk mengisi kemerdekaan.

 

Segala atribut dan puja-puji yang kita sandang seperti negara kepulauan terbesar di dunia, negara demokratis (prosedural) ketiga terbesar di dunia, negara yang subur, indah dan kaya, dan seterusnya justru menjadi beban ganda yang harus kita pikul.

 

Bagaimana tidak. Walaupun kaya, banyak rakyat kita yang masih dijajah kemiskinan. Walaupun banyak juara-juara olimpiade sains, banyak saudara kita yang masih dijajah kebodohan. Walaupun Jakarta bertaburan rumah mentereng, masih banyak rakyat di daerah yang dijajah sakit penyakit.

 

Disparitas antara yang kaya dan miskin serta antara daerah berpenghasilan besar dengan daerah berpenghasilan minim begitu kontras. Adapula daerah kaya berpenduduk miskin dengan infrastruktur yang masih minim, khususnya di bagian timur Indonesia.

 

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia rendah seperti yang tercermin dari tingginya Angka Kematian Ibu melahirkan, angka kematian bayi dan balita, angka prevalensi bayi dengan gizi buruk, dan seterusnya (Rencana Strategis Kementerian Kesehatan RI 2014 – 2019, halaman 28).

 

Tepat sekali pepatah yang berbunyi “kalau tidak ada sebab tentu tak ada akibat“. Kita sering mencari siapa yang bersalah atau kambing hitam. Setelah si pendosa teridentifikasi, ia dihujat. Mencari orang yang bersalah itu penting tapi mengidentifikasi persoalan dan mengatasinya jauh lebih penting.

 

Kenyataan bahwa pelayanan medis di daerah-daerah terpencil masih jauh dari memadai mendorong kami mencari cara untuk berpartisipasi menyediakan jasa pelayanan yang cocok dan tepat guna.

 

Gagasan membuat sebuah rumah sakit bergerak di atas sebuah kapal (Rumah Sakit Apung) ternyata sangat bermanfaat bagi mereka yang tinggal di pulau-pulau terpencil.

 

Kami mengunjungi mereka yang tinggal di desa-desa yang sulit dijangkau dengan sepeda motor (klinik keliling). Bahkan ada daerah-daerah di bumi pertiwi yang sejak kemerdekaan diproklamasikan belum pernah dikunjungi oleh tenaga medis. Ini diceritakan dengan haru oleh para tokoh masyarakat dari Desa Gagemba, Kabupaten Intan Jaya, Pegunungan Jaya Wijaya, Provinsi Papua.

 

Kami mengunjungi mereka dan melakukan pelayanan medis dengan berjalan kaki melalui hutan belantara, mendaki dan menuruni gunung. Untuk itu, kami terbang lebih dulu dengan pesawat perintis ke daerah-daerah yang dapat didarati pesawat kecil . Aksi “Dokter Terbang“ (Flying Doctors) kami lakukan untuk menjangkau mereka yang tak tersentuh kemajuan dan hasil kemerdekaan kita.

 

Kami berharap agar apa yang telah kami mulai melalui doctorSHARE ini tidak hanya bermanfaat namun juga menggugah banyak orang – terutama para pekerja medis – untuk melakukan hal serupa (***)

Foto Oleh:  Sylvie Tanaga (doc. doctorSHARE)