15 September 2015

Rakyat Sehat Negara Kuat

Share

Ungkapan “Rakyat Sehat Negara Kuat” sudah sering kita dengar. Beberapa tahun lalu, ungkapan ini bahkan menjadi slogan hari kesehatan nasional kita. Ungkapan ini menggarisbawahi betapa pentingnya kesehatan rakyat bagi kemajuan sebuah bangsa.

 

Kita mengamininya dan oleh karena itu, kita berusaha menyehatkan rakyat. Kita pernah mencanangkan Indonesia Sehat 2010 dan ikut serta dalam MDG’s 2015, namun belum berhasil memenuhi target.

 

Kita tak ingin menyesali kegagalan ataupun mencari siapa yang harus dipersalahkan, namun marilah menelaah pelajaran yang dapat kita petik dari pengalaman, lalu bertanya pada diri sendiri: “apa peran yang dapat saya lakukan?“ Saya yakin, setiap kita menginginkan Indonesia yang kuat.

 

Pengertian sehat itu sendiri tidak seragam dan menjadi bahan diskusi para pakar selama beberapa dekade. WHO mengartikan sehat sebagai keadaan seseorang yang bebas dari penyakit dan cacat fisik, sehat secara rohani, bebas dari ketakutan dan secara sosial tidak tergantung pada orang lain.

 

Dengan demikian, individu ini punya cukup waktu untuk istirahat, berinteraksi secara sosial, bebas mengembangkan bakat serta pengetahuannya, serta berpenghasilan memadai. Definisi ini secara umum diterima oleh masyarakat luas. Tapi bagi kita, tujuan ideal ini masih jauh dari jangkauan.

 

Apa indikator yang dapat kita pakai sebagai tolok ukur untuk menakar kemajuan pelayanan medis suatu negara?

 

Kedelapan butir target MDG’s dapat dijadikan acuan karena lima diantaranya berhubungan langsung dengan kesehatan. Kita juga dapat melihat ranking Indonesia di dunia dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM meghitung angka harapan hidup, lama rata-rata pendidikan yang dijalani serta kehidupan sosial suatu bangsa.

 

Tahun 2013, Indonesia berada pada posisi 111 dari 182 negara yang disurvei. Selama bertahun-tahun, Indonesia selalu bertahan pada posisi “kelas menengah”. Di antara negara-negara ASEAN, kita berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina.

 

Untuk mencapai kemajuan yang bermakna, kita harus belajar dari pengalaman masa lampau, mengambil kesimpulan serta bergerak cepat memperbaiki kekurangan. Untuk itu, kita butuh statistik yang akurat.

 

Di lain pihak, statistik yang akurat dan dapat dibaca secara benar merupakan barang langka bagi kita. Sebagai contoh, jumlah dokter yang terdaftar di KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) pada 9 September 2015 adalah 107.368 orang: angka yang begitu fantastis.

 

Namun IDI dan Kementerian Kesehatan punya statistik lain yang jumlah dokternya jauh di bawah angka KKI. Ini terjadi karena cara pengumpulan sample yang berbeda-beda dengan kriteria pendaftaran yang berbeda-beda pula.

 

Yang kita butuhkan adalah data mereka yang benar-benar bekerja secara klinis sebagai dokter, bukan mereka yang pernah terdaftar sebagai dokter, lalu berkeluarga, beroleh keturunan, lalu berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

 

Tak terhitung pula mereka yang meniti karir di industri farmasi, birokrat, dan seterusnya. Data tentang jumlah dokter yang pensiun, sakit, meninggal, atau tidak praktik lagi pun masih gelap. Kita benar-benar membutuhkan data yang akurat, juga tahu cara membaca dan menilainya.

 

Sebagai contoh, statistik KKI 9 September 2015 menyebut bahwa untuk sekitar 250 juta WNI, tersedia hampir 108.000 dokter. Secara matematis, penampilan kita lumayan. Seorang dokter Indonesia melayani sekitar 1.400 orang penduduk. Walau belum optimal, Indonesia sudah “pasang muka”.

 

Tapi kalau kita mau jujur dan sungguh-sungguh bertekad memperbaiki sistem pelayanan medis, kita harus bertanya secara kritis. Dari hampir 108.000 orang dokter yang terdaftar di KKI, ada berapa yang aktif berpraktik sebagai dokter?

 

Lain lagi statistik sebuah kabupaten yang mempunyai 8 dokter spesialis (masing-masing satu untuk bagian bedah, anak, kebidanan, penyakit dalam, radiologi, anestesi, laboratorium dan patologi anatomi) untuk 10.000 penduduk. Sekilas terkesan “wow! Hebat!“ Statistik ini menunjukkan bahwa untuk 1.250 penduduk, ada seorang dokter spesialis yang melayaninya.

 

Kita harus jeli membaca statistik seperti ini. Manusia bukan angka-angka dan hitungan-hitungan matematis. Kita harus melihat fakta bahwa seorang ahli bedah tak dapat melakukan operasi tanpa dokter bius/anestesi, seorang ahli penyakit dalam tidak melakukan operasi, dan sebagainya.

 

Jadi kalau secara matematis beban kerja seorang dokter spesialis adalah 1:1.250 orang penduduk, dalam kenyataannya beban kerja seorang dokter spesialis tetap saja 1:10.000. Kalau sudah begini, tentu kita harus mengintrospeksi letak kesalahan/kekurangan kita.

 

Persoalan besar lainnya adalah tidak meratanya distribusi tenaga kesehatan dan sarana penunjang medis lainnya seperti laboratorium dan rumah sakit.

 

Di barat Indonesia semisal Jawa, Sumatera dan Bali, distribusinya sudah lumayan. Namun makin jauh ke timur, distribusi dokter dan sarana penunjang medis lainnya makin buruk. Ini belum ditambah dengan cuaca yang sering berubah, daerah yang amat luas dengan jumlah penduduk yang sedikit, infrastruktur yang minim bahkan tiada sama sekali.

 

Pengalaman pribadi saya ketika terlibat dalam pelayanan medis di Desa Gagemba, Kabupaten Intan Jaya, Pegunungan Tengah Provinsi Papua, pada Juli 2015 lalu mencontohkan betapa sulitnya kita mewujudkan Indonesia sehat.

 

Menurut para tokoh masyarakat (melalui penerjemah), sejak kemerdekaan Indonesia belum pernah ada tim dokter yang datang ke Gagemba. Kami yang tergabung dalam doctorSHARE adalah yang pertama datang dan memberi bantuan medis kepada masyarakat.

 

Ketika pelayanan ditutup selepas pk 16.00 WIT (malam tak ada pelayanan karena tak ada penerangan), saya bersama Sdri. Sylvie Tanaga berjalan keluar arena pelayanan, hanya ingin berkeliling selama 15-20 menit. Waktu seperempat jam yang kami alokasikan ternyata berakhir dengan kekhawatiran dan perjuangan fisik di tengah hutan tanpa jalan dan penerangan selama kira-kira 5-6 jam.

 

Kami tak dapat menemukan jalan pulang walau ketika pergi hanya berjalan lurus dan itu pun tidak lama. Uang senilai Rp 2 juta di kantung tak berguna sama sekali karena kami tak mungkin menyewa taksi ataupun kendaraan lainnya di tengah hutan.

 

Smartphone juga tak berdaya menghubungkan kami dengan anggota tim lainnya yang tengah berusaha mencari kami. Kedua kaki kami adalah alat angkut yang handal untuk turun naik gunung di tengah kegelapan malam dan udara dingin (ketinggian sekitar 2.200 meter dari permukaan laut).

 

Teriakan-teriakan ala Tarzan adalah sistem komunikasi yang berguna dan menjadi satu-satunya cara. Untunglah kami bertemu seorang penduduk lokal yang walaupun tak mengerti bahasa Indonesia namun membawa kami ke sebuah honai (rumah khas penduduk Papua).

 

Dari honai tersebut, kami diantar ke honai berikutnya turun naik gunung hingga akhirnya bertemu seorang bapak yang mengerti bahasa Indonesia dan mengantar kami pulang.

 

Pengalaman di atas menunjukkan betapa sulitnya kita mencari data statistik tentang keberadaan masyarakat yang tinggal di pedalaman dan notabene harus kita layani juga. Keberadaan mereka yang hidup di daerah terpencil sulit terdeteksi, apalagi jumlah pertambahan penduduk kita.

 

Apakah betul jumlah penduduk kita bertambah kurang dari 1,5% per tahun? Atau sekitar 2%? Saya rasa, angka 2% lebih realistis.

 

Bagi masyarakat daerah, “Keluarga Berencana“ adalah istilah yang asing. Tidak sedikit ibu-ibu berusia sekitar 30-an tahun sudah pernah melahirkan 6 – 7 anak atau lebih. Walau angka kematian bayi/balita sangat tinggi, semboyan “2 anak cukup” dan “laki atau perempuan sama saja”, jelas tidak terpenuhi.

 

Rapatnya interval satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya mempengaruhi kualitas hidup sang ibu maupun bayi mereka. Dalam kondisi ini, bagaimana mereka dapat memenuhi kriteria sehat sesuai definisi WHO?

 

Saat ini, Indonesia meluluskan sekitar 6.000 dokter baru setiap tahun. Apakah jumlah ini cukup memadai untuk melayani pertambahan penduduk kita? Jika semua yang lulus berpraktik sebagai dokter, tak ada yang pensiun dan meninggal, secara matematis kita sangat mungkin mempertahankan status quo 1:1.400. Namun masih jauh panggang dari api untuk mencapai rasio 1:250 seperti negara maju.

 

Situasi mendadak berubah ketika berlakunya JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) pada 1 Januari 2014. Indonesia yang tadinya dikenal sebagai negara tanpa jaminan sosial, dalam satu hari menjadi negara yang memberi jaminan sosial kesehatan bagi 250 juta rakyatnya

 

Sayangnya, perubahan mendadak ini dilakukan tanpa persiapan memadai.

 

Jakarta dengan infrastruktur terbaik secara nasional, kewalahan melayani lonjakan jumlah pasien. Jumlah dokter/rumah sakit dan puskesmas yang ada tak cukup untuk menampung minat dan kebutuhan berobat mereka yang butuh pertolongan. Pemda DKI pun menambah kapasitas secara besar-besaran.

 

Peningkatan kapasitas ternyata tak menjawab kebutuhan. Sumpah serapah ditujukan pada pelaksana pelayanan medis. Sesederhana itukah persoalannya? Jelas tidak. Atau apakah sistem BPJS jelek? Juga tidak, hanya belum sempurna. Kita masih butuh waktu untuk membenahi segala-galanya. Negara maju saja butuh puluhan tahun untuk mencapai standar saat ini. BPJS Kesehatan baru berusia 1,5 tahun.

 

Kesalahpahaman di lapangan masih sering terjadi, terutama antara pemberi dan penerima jasa. Kita mengalami prosedur yang masih simpang siur dan ketidaksabaran konsumen, kadang-kadang dengan tuntutan berlebihan serta sifat-sifat premanisme yang tak terpuji.

 

Sebagai ilustrasi, ada yang mau berobat jerawat antri di poliklinik kulit untuk mendapat pengobatan dari seorang spesialis kulit. Ketika harus menunggu lama karena banyaknya pasien, omelan standar pun muncul: “saya tidak dilayani karena pakai BPJS!“ Sosialisasi dari yang berwenang agar menggunakan layanan primer (puskesmas) lebih dulu sepertinya masih belum dimengerti.

 

Orang lupa bahwa saat ini ada 175 juta orang yang sudah terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan dan mereka harus dilayani. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk Jerman sekitar 80 juta jiwa dengan infrastruktur yang prima dan pengalaman puluhan tahun.

 

Anggaran yang dialokasikan pemerintah masih belum cukup untuk menutup pengeluaran BPJS. Belum lagi salah pengertian yang beranggapan bahwa seluruh biaya di Rumah Sakit tanpa batasan apapun ditanggung BPJS.

 

Medical di Amerika kira-kira sama seperti BPJS Kesehatan PBI dikita. Mereka yang berpenghasilan rendah/tak berpenghasilan, mendapat bantuan layanan kesehatan dari pemerintah dengan syarat-syarat tertentu sesuai prosedur yang sudah dibakukan.

 

Statistik yang baru-baru ini diumumkan mengindikasikan sekitar 30% anggota BPJS – Non PBI (yang harus bayar iuran setiap bulan), tidak memenuhi kewajiban mereka. Ketika sakit mereka bayar, setelah keluar rumah sakit, mereka lupa kewajiban. Moral hazard demikian tentu merugikan kebersamaan kita.

 

Tudingan demi tudingan menyudutkan para dokter, seolah dokter tidak peduli akan keterpurukan sistem kesehatan kita, ogah dikirim kedaerah, dan seterusnya. Saya rasa sungguh tidak adil.

 

Ada berapa orang tua dokter dengan sukarela menyuruh anaknya berdinas beberapa tahun di daerah terpencil dengan segala keterbatasan? Ada berapa pemodal yang mau tinggal di daerah terpencil dan berinvestasi membuka keterisolasian suatu daerah?

 

Kita tidak mau saling menyalahkan, tapi coba tanya “apa yang dapat saya partisipasikan dalam pembangunan Indonesia?”

 

doctorSHARE beranggotakan sekitar 250 orang yang semuanya berusia muda usia (kecuali saya). Kami berusaha memenuhi kebutuhan yang timbul karena disparitas antara Indonesia Barat dan Timur yang demikian mencolok. Kami sudah berlayar dari Barat sampai ke Timur.

 

Seandainya ada yang mau berpartisipasi menyokong usaha kami, kami pasti akan melakukan sesuatu yang lebih besar. Juga akan sangat membantu kami seandainya ada 100.000 orang (bukan jumlah yang besar dari 250 juta) mau berpartisipasi sebesar Rp 10.000 (juga bukan jumlah yang besar) per bulan dalam kelompok Sahabat doctorSHARE.

 

Saya yakin, kita semua tentu ingin melihat Indonesia yang kuat karena rakyatnya sehat. (***)