17 September 2015

Ide Dan Inovasi Yang Berbuah Nyata

Share

“Jangan tanya apa yang dapat negara berikan kepadamu, tapi tanya apa yang dapat kamu berikan kepada negara.“ Ungkapan patriotik yang diucapkan oleh mantan Presiden AS mendiang John F. Kennedy pada awal tahun 1960-an ini begitu terkenal dan banyak dikutip hingga kini.

 

Sebenarnya, Indonesia juga punya pepatah “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.“ Pepatah ini tidak mengenal dikotomi “kami“ dan “kalian“ atau “negara“ dan “rakyat“ tetapi KITA sebagai satu kesatuan. Nasihat ini juga tak kalah dahsyat kalau kita mau mengartikulasikannya dalam konteks kekinian, saat dimana dunia kita sedang mengalami keterpurukan.

 

Kesulitan ekonomi yang melanda dunia, berimbas juga ke Indonesia. Jakarta sebagai barometer  keberhasilan pembangunan nasional ikut menderita. Justru di saat seperti inilah ajakan bersatu harus benar-benar ditanggapi serius.

 

Jangan lagi ada persepsi “ini tugas kami, itu tugas kalian“ atau “seharusnya pemerintah melakukan ini dan masyarakat mengolah itu.“ Seyogyanya kita semua melihat kesempatan berpartisipasi. Kita harus bersatu dalam sebuah perahu yang sama. Tatapan harus kita arahkan pada tujuan. Kita harus menyelamatkan kapal dari terpaan gelombang besar dan amuk badai.

 

Ajakan bersatu menghadapi situasi seperti saat ini tidak hanya relevan pada masa-masa sulit, tapi selalu relevan di segala masa: manis maupun sulit.

 

Masih segar dalam ingatan kita kesulitan moneter 1997-1998 yang berawal dari terpuruknya nilai tukar mata uang Rupiah terhadap dolar Amerika, berkembang menjadi kesulitan ekonomi dan berakhir dengan kekacauan politik. Tahun 2008 pun kita menghadapi kesulitan ekonomi.

 

Di masa-masa normal (tanpa persoalan ekonomi) kawasan timur Indonesia sudah menderita. Kesenjangan kaya dan miskin yang direpresentasikan dalam Indeks Koefisien Gini secara nasional berkisar pada angka 0,43 yang menurut sebagian ahli ekonomi merupakan lampu kuning.

 

Indeks Koefisien Gini di daerah bisa mencapai 0,60 bahkan 0,70! Artinya, hanya ada segelintir “orang kaya”. Lainnya miskin. Bayangkan betapa miskinnya mereka yang berada di daerah terpencil dibandingkan dengan orang kaya di Jakarta!

 

Ketika keadaan baik-baik saja, kita lengah bahkan lupa dari mana asalnya barang ekspor seperti batu bara, biji besi, gas alam, kayu, rotan, emas, ikan, dan masih banyak lagi. Keuntungan dan nilai tambahnya (added value) dinikmati perusahaan-perusahaan pengelola sedangkan rakyat daerah penghasil komoditi tetap menderita.

 

Ketika kita sadar bahwa ketimpangan ini tak boleh kita biarkan, kita mulai berwacana. Kita berdiskusi dalam seminar-seminar yang diberitakan dengan gegap gempita tentang apa yang salah, siapa yang bersalah, apa yang sebaiknya dilakukan, dan seterusnya tanpa ada tindakan konkrit.

 

Tindak lanjut dari kajian-kajian yang disajikan secara ilmiah dan menarik menjadi catatan di atas kertas yang dipublikasi tanpa menghasilkan sesuatu yang nyata dirasakan oleh mereka yang membutuhkan.

 

Ketika di media massa ada berita tentang kegagalan suatu proyek, si”pendosa” terungkap lalu ditangkap. Lalu apa tindak lanjut proyek tersebut yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakat? Persoalan berhenti sampai di sini. Titik. Case closed.

 

Yang lebih penting adalah bagaimana kita menyelesaikan persoalan bangsa. Kita seharusnya bisa belajar dari pengalaman negara-negara yang berhasil mengatasi problem yang mirip dengan situasi kita saat ini.

 

Sekitar 60 tahun lalu, ketika tenaga medis masih langka dan infrastruktur masih jelek, Tiongkok menerapkan suatu kebijakan yang terkenal dengan nama Bare Foot Doctors (Dokter Kaki Telanjang).

 

Mereka melatih dan mendidik orang-orang lokal yang sudah mengenyam pendidikan formal sampai tingkat tertentu, berminat melayani di bidang medis, dan bersedia bekerja di daerah asal mereka. Relawan-relawan ini dilatih mengobati penyakit-penyakit tertentu dan secara berkala mereka di-upgrade hingga suatu saat dapat menjadi dokter lokal.

 

Pendidikan pragmatis yang disesuaikan dengan kebutuhan saat itu berhasil mengatasi kekurangan tenaga kesehatan, luasnya daerah, jarangnya distribusi penduduk, infrastruktur yang tidak memadai, dan seterusnya. Dalam beberapa dekade, Tiongkok menjadi negara kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia.

 

Bagi mereka, berlaku apa yang dikatakan Deng Xiao Ping “tidak peduli kucing putih atau kucing hitam, yang penting kucingnya bisa menangkap tikus.“ Pernyataan pragmatis ini menjustifikasi alat untuk mencapai tujuan.

 

Kita setuju bahwa regulasi penting, tapi inovasi jangan dihambat. Selama tujuannya menolong dan untuk kemashlahatan orang banyak, didasari pengalaman dan keterampilan yang sudah terbukti, hendaknya janganlah dihambat dengan regulasi yang dibuat “untuk keadaan ideal”.

 

Paul Pollack, seorang Amerika yang di negaranya dijuluki sebagai Half Mad Man (orang setengah gila) menulis buku dengan judul Out of Poverty. Beliau menulis, kalau petani miskin di Pegunungan Anden di Amerika Latin tidak mampu membeli traktor untuk mengolah kebun mereka, tak ada salahnya untuk menggunakan seekor keledai walaupun kapasitasnya jauh lebih rendah. Intinya: I N O V A S I.

 

Bayangkan. Di daerah terpencil, kita sering melihat masyarakat lokal membangun jembatan dari kayu atau bambu. Kalau saja regulasinya mengatasnamakan keselamatan pengguna jembatan (setuju!), maka jembatan harus dirancang dan dibangun oleh insinyur dengan standar kualifikasi tertentu.

 

Masalahnya, kapan jembatan akan hadir? Kapan ada insinyur yang akan ke sana untuk merancang? Berapa kalkulasi harganya? Siapa yang akan mendanai? Dan seterusnya.

 

Persoalan konkret seperti inilah yang kami hadapi.

 

Nun jauh disana, di pinggiran Indonesia, ribuan pasien yang butuh pengobatan, operasi, bantuan melahirkan, kurang gizi dan seterusnya telah menunggu. Mereka butuh pertolongan segera karena penyakit tak dapat menunggu. Mereka butuh rumah sakit, tenaga kesehatan, sarana dan prasarana transportasi, listrik, sistem komunikasi yang memadai, dan sebagainya.

 

Seandainya harus menunggu semua tersedia, berapa modalnya? Berapa lama lagi kita harus menunggu?

 

Kami membuat sebuah terobosan untuk menjawab persoalan-persoalan yang kita hadapi yaitu Rumah Sakit Apung. Walaupun kapal ini sangat kecil (23,5 X 6,5 meter) tapi fasilitasnya sama seperti Rumah Sakit di darat dengan fasilitas kamar bedah, laboratorium, EKG, USG, dan ruang rawat pasien.

 

Inovasi ini sudah berhasil melayani ribuan pasien di seluruh nusantara. Kami melatih bidan dan dukun beranak (mama biang dalam bahasa daerah di Kei, Maluku Tenggara) serta melengkapi mereka dengan alat-alat persalinan (partus kit) sesuai standar WHO. Kami pun mendirikan Therapeutic Feeding Center (Panti Rawat Gizi) bagi anak-anak buruk gizi.

 

Untuk menggapai saudara-saudara kita yang hidup di pedalaman Papua, kami terbang dengan pesawat perintis (Dokter Terbang/Flying Doctors) lalu perjalanan dilanjutkan dengan ojek sepeda motor.

 

Bila diperlukan, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menembus hutan mendaki gunung dengan ransel d ipunggung. Inilah inovasi kami dalam mencapai tujuan bersama kita yaitu membagikan kesejahteraan kepada mereka yang membutuhkan.

 

Konfusius berkata, lebih baik menyalakan sebatang lilin daripada memaki kegelapan karena kegelapan tak akan pergi walau kita memaki dan mengusirnya.

 

Kami doctorSHARE sudah menyalakan sebatang lilin. Mudah-mudahan makin banyak lilin-lilin berikutnya yang akan dinyalakan demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial. (***)