20 Oktober 2015

Dia Yang Dipanggil Alrido

Share

6 Mei 2015 berjalan seperti hari- hari biasanya. Bangun pagi, pergi ke pasar, lalu saya segera bersiap berangkat ke puskesmas. Pelayanan puskesmas dibuka. Satu per satu pasien mulai saya periksa. Tiba- tiba ingatan saya melompat ke wajah mungil nan sayu dengan badan terkulai lemas digendong ibunya. Anak 10 bulan itu bernama Alrido Reyaan.

 

Pertemuan pertama saya dengan Alrido terjadi seminggu sebelumnya. Waktu itu, Alrido dibawa ibunya ke puskesmas tempat saya bertugas karena sudah beberapa hari ia demam dan batuk pilek.

 

Mereka ternyata berasal dari desa yang jauh dan bukan merupakan wilayah kerja puskesmas saya. Tapi sulitnya akses jalan darat ke puskesmas mendorong ibunda Alrido menumpang speed boat kecil untuk membawa anaknya berobat ke puskesmas saya.

 

Sebagai relawan doctorSHARE, saya pun bertugas di Panti Rawat Gizi doctorSHARE yang menumpang di bangunan Puskesmas Watsin, Kei Besar.

 

Alrido menarik perhatian saya karena tubuhnya yang begitu kurus. Saat itu, saya meminta sang ibunda untuk membuka baju Alrido. Saya tidak terkejut.

 

Sesuai dugaan, berat badan Alrido memang tergolong di bawah rata- rata. Tulang punggung Alrido terlihat jelas hanya dilapis kulit tipis. Otot bagian paha pun menipis sehingga tampak keriput. Saya pun memberi motivasi agar Alrido dirawat di Panti Rawat Gizi. Namun sang ibunda menolak.

 

Seminggu berlalu, saya pun tiba- tiba teringat Alrido. Saya berniat mencari Alrido dan merawatnya di Panti Rawat Gizi doctorSHARE. Kebetulan hari itu, frater yang bertugas di desa saya akan mengadakan pelayanan bagi umat di desa tempat Alrido tinggal.

 

Sayangnya, cuaca tidak baik. Akses jalan darat menjadi amat sulit ditempuh. Lagipula, saya ingin menjemput Alrido dan ibunya. Kami akhirnya menumpang speed boat kecil. Awalnya, perjalanan kami baik-baik saja. Laut sangat bersahabat. Tidak ada angin sehingga otomatis tidak ada ombak.

 

Satu jam kemudian, kami sampai di Desa Mun Ohoi Ir yang menjadi tempat tinggal Alrido. Saya pun bertanya pada penduduk setempat dan bertemu kembali dengan Alrido. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan seminggu sebelumnya. Alrido masih terkulai lemas dan terus- menerus batuk di dalam gendongan ibunya.

 

Setelah berbicara singkat, ibu Alrido akhirnya setuju Alrido dirawat di Panti Rawat Gizi doctorSHARE. Hari sudah makin gelap tapi kami tidak punya pilihan. Malam itu juga kami harus kembali ke desa Watsin agar Alrido dapat dirawat di sana.

 

Tepat pukul 7 malam, kami bertolak dari Desa Mun Ohoi Ir. Pengemudi speed boat mengatakan kepada kami bahwa bahan bakar minyak hanya tersisa sedikit sehingga kami harus berjalan pelan untuk sampai di desa terdekat dan membeli bahan bakar.

 

Tiga puluh menit kemudian akhirnya kami sampai di Desa Dangarat. Untung saja di desa tersebut masih ada yang menjual bensin. Hari makin larut dan air laut makin surut sehingga kami harus bertolak ke arah laut, menjauhi darat agar kapal yang kami tumpangi tidak kandas.

 

Bertolak lebih jauh, perjalanan kami pun makan waktu lebih lama. Saya khawatir karena ketika memandang langit, bintang- bintang sudah sembunyi di balik awan. Sekeliling kami terlihat hitam kelam. Kami hanya bergantung pada pancaran sinar dari lampu senter yang juga mulai redup.

 

Ini pertanda kurang baik karena kemungkinan akan hujan. Saya hanya bisa berdoa agar Tuhan selalu menjaga dan menemani kami. Perjalanan pun kami lanjutkan. Benar saja, kekhawatirkan saya pun terjadi. Hujan turun sangat deras disertai angin kencang.

 

Speed boat yang kami tumpangi terbuka tanpa penutup atas. Untunglah saat itu saya membawa mantel hujan. Langsung saya pakaikan mantel hujan itu ke Alrido yang ada dalam gendongan ibunya. Pakaian basah dan terpaan angin kencang membuat kami gemetar kedinginan.

 

Saya minta ibu Alrido terus mendekap erat anaknya agar tidak kedinginan. Sementara itu, seorang teman saya terus-menerus membuang air yang menggenang di dalam lambung speed boat.

 

Empat puluh menit berlalu dan akhirnya kami berhasil sampai di desa tujuan. Tapi karena air laut sudah surut maka kapal tidak bisa terlalu merapat. Akhirnya kami berjalan turun menuju daratan. Hujan dan angin masih setia menemani perjalanan kami.

 

Sesampainya di darat, kami harus jalan menanjak menuju Panti Rawat Gizi. Alrido terdengar terus- menerus batuk. Badan yang sudah mulai lelah akibat perjalanan panjang membuat kami tidak dapat berjalan cepat.

 

Tidak peduli dengan kaki yang makin terasa berat, kami terus berjalan dan akhirnya sampai di panti. Sungguh perjalanan panjang yang penuh perjuangan dan menantang nyawa. Perjalanan ini menjadi pengalaman yang tidak terlupakan.

 

Selama perawatan di panti, Alrido menunjukkan tanda perbaikan. Batuknya sembuh dan nafsu makannya membaik. Berat badannya pun meningkat. Namun sayang, baru dirawat sebulan, sang ibu minta pulang paksa padahal berat badan Alrido belum dalam tahap ideal.

 

Rupanya, Alrido adalah anak bungsu dari sebelas bersaudara, yang hidup tanpa seorang ayah. Sang ibu terpaksa minta pulang paksa karena sepuluh anak lainnya terlantar di kampung. Ia pun harus pergi ke ladang untuk berkebun. Jika tidak, tidak ada makanan bagi anak-anaknya. Inilah kendala yang kami dan orang tua alami di lapangan.

 

Kami tidak bisa memaksa orang tua Alrido untuk terus menginap di Panti Rawat Gizi. Kami pun harus mengubah strategi.

 

Kini, Alrido masih ada dalam pengawasan kami, meskipun ia tidak bisa dirawat di panti. Yang kami lakukan adalah “menjemput bola”. Kami datang secara berkala ke rumah Alrido untuk memantau perkembangannya. Kondisinya membaik walau masih tergolong gizi kurang.

 

Yang jelas, kami tidak akan menyerah. Badai, hujan angin, ombak laut, jalan becek berbatu tak akan menghalangi niat kami untuk memulihkan kesehatan Alrido. Kami yakin, selama semangat perjuangan tidak pupus, pasti akan ada masa depan cerah bagi balita malnutrisi di Kei Besar. (***)