15 Desember 2015

Sembuh Bukan Hanya Perkara Obat

Share

“Amakane!”
“Amakaniee!”
“Kaona!”

 

Salam itu berkali-kali kami lontarkan bergantian saat berpapasan dengan masyarakat. Terkadang jabat tangan ataupun salam “tarik jari” kami lakukan saat bertemu beberapa dari mereka. Ya begitulah: lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Salam berganti-ganti, bergantung ke mana kaki melangkah.

 

Inilah pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di daerah pegunungan Papua. Sebelumnya saya hanya pernah mengunjungi wilayah pesisirnya saja. Kali ini, saya berkesempatan bergabung dalam pelayanan medis Flying Doctors doctorSHARE di Ugimba, sebuah distrik di Kabupaten Intan Jaya.

 

Berbeda dengan daerah pesisir dimana banyak masyarakat Papua sudah fasih berbahasa Indonesia, di wilayah ini masih banyak masyarakat tak bisa berbahasa Indonesia. Kami pun tak dapat menanyakan langsung keluhan atau riwayat penyakit mereka sehingga keberadaan penerjemah jadi begitu vital.

 

Daerah yang kami tuju adalah desa terakhir dalam rute pendakian menuju Puncak Carstensz, satu dari tujuh puncak tertinggi di dunia. Tidak heran jika suhu udara di sana cukup dingin. Jaket, sleeping bag, topi kupluk, sarung tangan, dan kaos kaki jadi teman setia pelengkap tidur saya.

 

Suhu dingin pula yang menambah tantangan dalam menaklukkan perjalanan dari Distrik Sugapa menuju Distrik Ugimba. Kami menempuh perjalanan selama kurang lebih 13 jam ketika berangkat dan 12 jam ketika pulang. Semua dilakukan berjalan kaki karena tak ada moda transportasi lain yang bisa digunakan.

 

Jalan berlumpur, dakian terjal, turunan licin, bahkan menyeberangi sungai pun kami lakoni untuk mencapai Ugimba. Mungkin soundtrack film kartun Ninja Hattori cukup bisa menggambarkan perjalanan kami kali ini –…mendaki gunung, melewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera…

 

Beruntung kami masih dibantu porter untuk membawa barang-barang perlengkapan. Kalau tidak, mungkin kami tak sanggup menyelesaikan perjalanan menuju Ugimba. Medannya sungguh berat dan menguji mental. Perasaan ingin berhenti dan menyerah tak jarang hinggap di kepala. Tapi saya ingat tujuan perjalanan ini yaitu menjangkau distrik yang katanya belum pernah didatangi dokter.

 

Distrik Ugimba memang sudah memiliki puskesmas tapi tenaga kesehatan dan obatnya belum tentu ada. Mungkin apa yang kami lakukan bukan hal besar. Mungkin kami hanya bisa mengobati sekian ratus orang, tapi saya belajar bahwa kehadiran kami di sana sangatlah penting.

 

Setidaknya kami membuka harapan dengan memperlihatkan bahwa masih ada orang-orang yang mau berjumpa dengan mereka yang sulit dijangkau. Kami berbagi apa yang kami mampu, apa yang kami bisa lakukan. Terkadang sembuh bukan hanya perkara obat yang ditelan tapi tentang kepedulian dan perhatian tulus yang mereka terima.

 

Segala letih jadi terlupakan ketika melihat wajah anak-anak yang bahagia dengan vitamin yang kami. Lelah pun sirna menyaksikan masyarakat yang tersenyum setelah diperiksa dan diberi obat.

 

Saya selalu senang berkesempatan bergabung dengan pelayanan medis, khususnya di tempat-tempat terpencil. Dengan membagi apa yang saya punya, saya belajar dan belajar lagi. Saya pikir, terkadang hidup itu lucu. Saya merasakan kebahagiaan yang lebih besar ketika hidup susah dan melayani mereka di pedalaman daripada saat duduk tenang di ruang praktik dan mendapat uang dari profesi saya.

 

Saya masih meraba ke mana saya ingin berlabuh dan mencoba meletakkan prioritas untuk merancang masa depan saya. Tapi untuk saya hari ini, kutipan sebuah buku karya Romo Mangun ini begitu mengena: “being more, not having more”*.

 

Pada akhirnya saya bisa memaknai hidup dari apa yang saya pelajari dan saya alami, sejauh mana saya berproses menjadi pribadi yang lebih baik, dokter yang lebih baik, bukan semata mengejar materi, gelar ataupun kedudukan. Kita bisa menilai diri bukan dari apa yang kita punya, tapi apa yang sudah kita lakukan untuk orang lain.

 

“Mau ke Ugimba lagi?”
“Jangan dalam waktu dekat ya…”

 

“Kapok ikut Flying?”
“Tentu tidak!”

 

* * *

 

*dikutip dari: Y.B. Mangunwijaya. Burung-Burung Rantau. 2014. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.