29 Desember 2015

Flying Doctors dan Media doctorSHARE

Share

Pertama kali mendapat kabar sebagai salah seorang relawan media doctorSHARE untuk meliput pelayanan medis Flying Doctors doctorSHARE, langsung memacu adrenalin saya untuk bergegas mempersiapkan perlengkapan dokumentasi tanpa menanyakan lokasi persisnya.

 

Pelayanan medis Flying Doctors bukan pelayanan medis biasa yang langsung datang melayani pasien. Tim Flying Doctors harus melakukan perjuangan lebih dulu sebelum melayani masyarakat yang sakit. Mengapa demikian?

 

Tim Flying Doctors doctorSHARE melakukan pelayanan medis di Distrik Ugimba, Kabupaten Intan Jaya – Papua, yang jalurnya tidak mudah karena Ugimba adalah distrik terakhir menuju salah satu gunung tertinggi di dunia yaitu gunung Carstensz. Meski demikian, tidak sedikit pun kata menyerah terlintas.

 

Tim akan mencatat sejarah baru yaitu menjadi dokter pertama yang melakukan pelayanan medis di Ugimba. Sebagai relawan media, kami ikut bangga karena bisa menjadi saksi mata dalam sejarah tersebut.

 

Tugas media doctorSHARE adalah melakukan liputan kegiatan pelayanan medis yang dilakukan oleh tim dokter mulai dari keberangkatan hingga sepanjang kegiatan pelayanan medis, juga meliput latar belakang geografis dan sosial yang menggambarkan lingkungan pelayanan medis. Banyak orang bilang tugas media sangatlah mudah karena “hanya” mengambil gambar dan menulis berita.

 

Pernyataan tersebut sah-sah saja. Semua orang memang bisa mengambil gambar dan menulis. Pertanyaannya, apa bisa gambar dan tulisan tersebut mampu membawa perubahan keadaan menjadi lebih baik? Apa bisa mengambil gambar dan menulis dengan jujur dan kreatif tanpa perlu diperintah dan tanpa mengharapkan imbalan?

 

Inilah yang membedakan media doctorSHARE dengan yang lain. Kami diberikan tugas liputan dan memberitakan dengan jujur tanpa harus mengindahkan cerita dengan cara berbohong. Kami juga mendapat keleluasaan sudut pandang dalam pengangkatan berita.

 

Kami memulai liputan sejak persiapan dan selama perjalanan dari Sugapa (ibukota Kabupaten Intan Jaya) menuju Ugimba yang memakan waktu lebih dari 13 jam. Perjalanan tersebut kami tempuh berjalan kaki. Sebagai media, tidak lupa kami harus menggendong peralatan liputan dan sudah jadi kewajiban untuk  mengabadikan momen-momen yang berharga.

 

Perjalanan 13 jam sama sekali tidak mudah. Selain dari lamanya berjalan kaki, kami juga harus menghadapi jalur terjal, bahkan sempat memanjat dan menjadikan akar pohon sebagai pegangan dan pijakan. Jalur menuju Ugimba melewati hutan hujan tropis sehingga sudah pasti berlumpur. Jalur berlumpur makin menyulitkan perjalanan, bahkan menenggelamkan tim sampai semata kaki.

 

Di pertengahan jalan, tepatnya di Sungai Besar, kami disuguhi hujan sehingga akhirnya hanya menggunakan Action Cam yang memang diperuntukkan mengambil gambar di ruang terbuka dengan kondisi ekstrim.

 

Setelah melewati jalur memanjat, kami pun melewati jalur dengan hanya mengandalkan satu batang pohon yang licin, menyusuri sungai, menuruni bebatuan, berjuang mengatasi lumpur, hingga akhirnya sampai di Ugimba. Tapi itu pun belum sampai di lokasi tujuan kami melakukan pelayanan medis. Kami sampai dalam kondisi terlalu malam dan terlalu lelah sehingga harus menginap dulu di honai warga. Kami langsung terlelap tidur dengan keadaan baju yang masih basah.

 

Esoknya, kami dibangunkan oleh cuaca yang dingin. Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju lokasi pelayanan medis yang tidak jauh dari honai tempat kami bermalam. Sesampainya di lokasi pelayanan medis, tim dokter langsung mempersiapkan logistik yang akan digunakan untuk pelayanan medis. Kami pun mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan besok dan kembali membedah shot list. Selesai persiapan, kami briefing demi kelancaran pelayanan medis.

 

Hari pertama pelayanan medis, warga berbondong-bondong mendatangi lokasi pelayanan medis. Kami pun tak kalah semangat mengambil ekspresi kegembiraan masyarakat. Senyum anak kecil, tarian ibu-ibu dan canda tawa remaja menghiasi pelayanan medis di Ugimba.

 

Tapi tak lama, seorang warga sempat menghentikan pelayanan medis karena alasan yang kurang jelas. Sebagai tim media, ini adalah momen yang jarang ditemui. Kami terus merekam dan mengikuti setiap geraknya, sambil tetap memperhatikan keamanan diri sendiri dan kamera karena khawatir ia akan melakukan tindakan yang dapat merusak peralatan liputan.

 

Tak lama, masalah pun selesai dan pelayanan medis kembali berlangsung. Dokter yang didampingi warga setempat melayani pasien dengan aman dan tenteram. Akhirnya seluruh tim dapat menyelesaikan tugasnya dengan lancar dan mencatat sejarah sebagi tim dokter pertama yang mengobati masyarakat Ugimba.

 

Dengan keterbatasan alat liputan dengan kendala bahasa, kami dapat menjalankan tugas sebagai tim media. Kami meliput semua kegiatan pelayanan medis dan kebudayaan lokal. Tugas ini tak sepele apalagi jika hanya dianggap sebagai kesempatan “jalan-jalan”. Kami memotret sebuah isu serius yang kerap diacuhkan media-media nasional: tentang hak warga pegunungan tengah Papua yang terabaikan dan harus terus menderita akibat pengabaian ini, entah sampai kapan.

 

Ini bukan soal perjuangan menempuh perjalanan lebih dari 13 Jam dengan jalur berlumpur dan licin. Ini adalah semangat kami melukiskan kondisi masyarakat di daerah sangat terisolir yang hak hidupnya sebagai manusia terabaikan dan mengabarkannya pada publik. Setiap jepretan dan goresan catatan kami adalah bukti berharga mengenai fakta ironis ini.

 

Di balik fakta ironis ini, pelayanan medis oleh tim Flying Doctors doctorSHARE menjadi sebuah oase tersendiri bagi warga Ugimba. Ekspresi mereka dapat rekan-rekan lihat dalam jepretan foto-foto dan video yang sedang kami garap. Karena aneka keterbatasan, mungkin tim tak dapat menyembuhkan sejumlah pasien, namun kehadirannya saja sudah memberi harapan bahwa masih ada yang mempedulikan mereka.

 

Lewat apa yang kami lakukan, tentu kami berharap mata pemerintah terbuka dan rakyat Indonesia (termasuk rekan-rekan sekalian) lebih peka terhadap keberadaan dan kondisi saudara-saudara kita yang paling membutuhkan di pelosok. Mereka pun berhak menikmati hidup, sama seperti kita.