1 Juni 2016

Kerinduan Haroke

Share

Pagi hari, dingin cuaca Distrik Wandai tidak seperti di Distrik Sugapa sampai 15 derajat Celcius. Mungkin karena Wandai terletak di lembah yang dikepung pegunungan sehingga arah angin lebih tertahan. Selama berlangsungnya kegiatan Flying Doctors, kami tinggal di sebuah gereja beralas lantai papan – lebih dari cukup untuk berteduh dan melakukan pelayanan medis.

 

Keadaan memaksa kami melangsungkan bedah lewat pembiusan lokal yang sesungguhnya tidak lazim dilakukan pada pasien dengan kondisi benjolan relatif besar. Saya mendapati seorang pasien menderita tumor yang cukup besar. Tim pun memberi penjelasan bahwa kondisi tersebut dapat menyebabkan pasien beresiko merasakan lebih banyak kesakitan selama berlangsungnya operasi. Pasien setuju. Operasi berjalan lancar, demikian pula dengan pengobatan umum.

 

Tapi hal paling menarik dalam Flying Doctors kali ini adalah ketika saya berjumpa dengan seorang bocah. Haroke, namanya. Sejak pagi, Haroke terlihat sibuk mondar mandir dengan kaki telanjang di tengah rintik hujan. Entah kesibukan apa yang ia lakukan. Yang jelas, rasa letih sama sekali tak nampak dari wajahnya. Penasaran, saya pun mendekatinya.

 

“Adek pu nama siapa?”
“Haroke, Kakak!”

 

Ia menjawab sambil sibuk mencuci piring, gelas serta aneka jenis peralatan masak. Takut mengganggu aktivitasnya, saya pun beranjak ke kamar kecil yang berada di sampingnya. Kamar ini terbilang baik untuk daerah ini, tapi hanya sedikit air yang dapat digunakan untuk sekadar buang air dan mandi. Selama berhari-hari, kami harus membiasakan diri dengan kondisi tersebut.

 

Saya bertemu kembali dengan Haroke, suatu hari saat ia membawakan nasi bagi makan siang kami yang kelelahan usai melayani masyarakat sejak pagi hingga siang hari. Di sela makan dan istirahat, sempatlah saya berbincang dengan bocah ini.

 

“Adek, terima kasih nasinya. Mari adek ikut makan!”

 

Ini bukan ajakan basa basi. Saya tahu mereka memang jarang berjumpa dengan nasi, apalagi lauk yang lengkap. Umumnya mereka hanya makan umbi, jagung, dan sayur, itu pun dengan pengolahan ala kadarnya. Direbus atau dibakar. Hanya itu.  Di Jawa, makanan yang sama dapat berubah wujud menjadi berbagai kudapan kreatif, misalnya talas yang bisa menjadi keripik dengan rasa mantap.

 

“Haroke, apa yang Haroke inginkan di sini untuk kemajuan daerah ini?”
“Tidak ada, Kakak! Kami hanya ingin guru supaya bisa sekolah. Kami ingin didampingi guru yang selalu ada setiap kami butuhkan.”

 

Anak kelas 6 SD yang baru selesai ujian ini menjawab tersipu-sipu. Saya terdiam. Dan tertampar. Seribu pertanyaan bermunculan dalam benak. Apa yang mereka lakukan pada jam-jam sekolah selama ini? Apakah tidak ada guru? Bukankah ada gedung sekolah? Adakah fasilitas di dalamnya? Bagaimana mereka belajar? Ke mana mereka mendapat bimbingan? Mengapa ketimpangan ini begitu nyata?

 

Bukankah seharusnya anak-anak di Jawa dan Papua berhak menikmati perlakuan yang sama dari pemerintah? Bukankah mereka memiliki hak yang sama untuk belajar di kelas bersama guru-guru? Bagaimana Undang Undang Dasar bisa terwujud di sini? Kerinduan hati Haroke benar-benar menyayat hati saya yang paling dalam.

 

Kenapa Papua begitu berbeda dengan Jawa?