8 Agustus 2016

Cerita Cengkih dari Pulau Doi

Share

Pertengahan Juli lalu, ada yang lain merasuk hidung. Baunya familiar. Tapi, terasa asing jika menciumnya di daerah pesisir yang lekat dengan bau garam. Aroma asing itu berseliweran menunggang angin, sebelum akhirnya terhirup dan masuk ke hidung orang-orang di Pulau Doi, Kecamatan Loloda Kepulauan. Ini adalah pulau di bagian utara Kabupaten Halmahera Utara, Maluku.

Setelah mengitari Desa Dama, ibukota kecamatan, barulah disadari bahwa aroma asing tersebut berasal dari cengkih yang tengah dijemur. Tak heran jika wangi cengkih cukup mencolok di sana. Apalagi saat hari cerah. Bunga cengkih, baik yang masih segar hijau maupun kering kecoklatan, terlihat hampir di setiap sudut desa. Di lapangan, di halaman rumah, bahkan jalan umum sekalipun.

“Ini belum panen semua, Mbak. Kalau sudah panen semua, sepanjang jalan dipakai untuk jemur cengkih, sampai susah lewat,” ujar warga Desa Dama, Nurhayati, kepada tim doctorSHARE.

Pemandangan tersebut hanya muncul setahun sekali dan menjadi kearifan lokal, tepatnya saat musim panen cengkih dua bulan berikutnya. Selama itu, tak ada rutinitas pelaut sebagaimana karakteristik masyarakat pesisir. Perahu-perahu nelayan dibiarkan terparkir di tepi laut. Rumah-rumah tampak sepi tak bertuan. Rupanya, kesibukan beralih ke lautan pohon cengkih.

Pagi hari, para petani cengkih tak terkecuali Nurhayati dan suaminya, Anto, mulai sibuk dengan persiapan berkebun. Yang mereka persiapkan mulai dari perkakas hingga bekal makan dan minum. Sekitar pukul 08.00, mereka bergegas menuju kebun.

Mereka biasanya menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh hanya 30 menit. Namun hujan yang mengguyur Dama semalam menyebabkan jalan menjadi licin dan berlumpur. Oleh karenanya, mereka memilih berjalan kaki meski waktu tempuhnya menjadi dua kali lebih lama.

Pohon cengkih merimbun di kiri dan kanan jalan di sepanjang jalan menuju kebun milik orang tuanya. Di kawasan yang mereka sebut Gunung Paniki tersebut, para petani lain sudah lebih dulu sampai. Anak-anak pun akan ikut berkebun jika sedang libur sekolah. Di kebun tetangga, sudah ada petani memetik cengkih sambil berdendang. Anto dan ketiga rekannya masih bersiap.

Tali berfungsi layaknya katrol. Batang bambu menjadi tempat duduk sembari memetik bunga-bunga cengkih. Para pemetik cengkih membawa salapa alias kantung dari bahan karung ke atas pohon yang tingginya berkisar 5-6 meter. Perlahan tapi pasti, salapa terisi penuh rempah aromatik ini.

Pagi berganti siang. Saat posisi matahari tepat berada di atas kepala, mereka bersantap siang. Menjelang senja, para petani kembali ke rumah berikut sekarung penuh hasil panen.

“Kalau sore, rumah-rumah baru ramai. Pada kumpul untuk cude (memisahkan bunga cengkih dari tangkai) sambil ngobrol atau ngopi,” tutur Nurhayati.

Keesokan harinya, hasil cude dipaparkan di atas alas terpal dan dibiarkan mengering. Jika sinar matahari cukup bagus, hanya butuh dua hari agar bunga cengkih segar kering seutuhnya. Lain halnya jika hujan turun.

“Kalau kehujanan, cengkoh setengah kering harus dijemur lagi sehingga kualitasnya jadi jelek. Cengkihnya kopong dan mudah patah,” kata warga lainnya, Fatmi, yang juga memiliki kebun cengkih.

Cengkih kering pun siap dijual ke pengepul. Di Desa Dama, tak jarang para petani membawa langsung berkarung-karung cengkih ke Tobelo atau Ternate dengan harga jual sekitar Rp 115.000 per kilogram.

Menurut Kepala Desa Dama, Anwar Hasan, harga cengkih di Tobelo sempat turun hingga Rp 90.000 per kilogram. Begitu juga dengan hasil panen tahun ini. Terjadi penurunan sekitar 50% dari yang biasanya bisa mencapai 400 ton. Penyebabnya adalah musim kemarau panjang yang melanda selama beberapa bulan sebelum panen.

Cengkih dan beberapa rempah Maluku lainnya memang sudah terkenal sejak zaman kolonial Portugis dan Belanda. Popularitasnya langgeng hingga kini. Di dalam negeri, rempah dengan nama latin Eugenia aromaticum ini antara lain dimanfaatkan industri rokok, penyedap makanan, dan kosmetik.

Salah seorang relawan doctorSHARE, dr. Yonathan Purnomo, Sp.B., mengatakan bahwa kandungan eugenol pada cengkih berfungsi untuk bius lokal serta meredakan sakit gigi.

Hasil penelitian tim Miguel Hernandez University di Spanyol menguatkan pernyataan ini. Mereka mengidentifikasi cengkih sebagai rempah bersenyawa eugenol yang aktif memblok rambatan rasa nyeri akibat peradangan pada syaraf dan pembuluh darah di bagian gigi (pulpitis).

Penelitian tersebut juga menunjukkan, cengkih mengandung senyawa phenolic tinggi yang menjadikannya zat antioksidan terbaik. Simpulan tersebut diperoleh melalui perbandingan dengan empat sifat antioksidan lainnya. Antioksidan sendiri bermanfaat untuk menangkal radikal bebas, mencegah sel kanker, serta baik untuk kesehatan kulit.

Besarnya potensi cengkih dalam negeri, berbanding terbalik dengan dukungan pemerintah daerah. Kepala Desa Dama, Anwar Hasan mengaku telah mengajukan bantuan pupuk ke pemerintah kabupaten. Namun, belum ada realisasinya hingga saat ini. Meskipun perawatan pohon cengkih tidaklah rumit, ia tetap berharap ada bantuan pupuk untuk meningkatkan hasil panen.

“Di daerah lain ada yang dapat bantuan pupuk, tertimbun, dan pada akhirnya mubazir terbuang begitu saja. Sementara di sini sudah minta, nggak dikasih-kasih,” keluhnya.