22 Agustus 2016

Siapa Bilang Orang Papua Seram?

Share

“Tak kenal maka tak sayang.” Ungkapan ini sudah sangat umum dalam memulai sebuah perkenalan. Orang yang memperkenalkan diri tersebut berharap akan disayangi apabila sudah memperkenalkan diri. Demikian pula dengan saudara-saudari kita di pedalaman Papua. Saudara-saudari kita yang seringkali dianggap “menyeramkan.”

Entah sejak kapan orang-orang menilainya demikian hingga muncul stigma bahwa orang Papua menakutkan dan harus dijauhi. Stigma ini pula yang membuat orang wilayah lain berpikir seribu kali untuk berkunjung ke Papua. Jangankan untuk mengabdi selama bertahun-tahun, berkunjung dan menginjakkan kaki di Tanah Papua saja bagi sebagian orang merupakan hal menakutkan.

Apakah benar mereka “menyeramkan?”

Jawabannya tentu saja subjektif. Tergantung bagaimana menilai mereka. Bagi saya pribadi, orang yang menganggap orang Papua menakutkan dan harus dihindari adalah orang-orang yang sebenarnya belum mengenal mereka dengan baik. Ya, mungkin sesederhana ungkapan pada paragraf awal, “tak kenal, maka tak sayang.”

Ketika sudah berkenalan maka kita dapat mengetahui bagaimana mereka sebenarnya. Mereka juga sama dengan orang-orang pada umumnya. Ketika ada orang yang ramah kepada mereka, mereka akan membalas dengan sikap lebih ramah lagi. Namun apabila ada orang bersikap kasar kepada mereka, mereka akan membuat batas-batas pertahanan.

Ikut pelayanan medis Flying Doctors selama lima hari empat malam di Distrik Wano Barat, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, membuat saya sadar dan melihat adanya suasana kekeluargaan di antara para penduduk. Kami tinggal di antara masyarakat, berbaur bersama mereka.

Kehadiran tenaga medis di distrik yang terisolir dari dunia luar ini tentunya merupakan hal yang tidak biasa. Wajah-wajah asing para pendatang cukup menarik perhatian penduduk sejak saat pertama mendarat di Bandara Distrik Wano Barat. Puluhan penduduk berdiri di sekitar Bandara dan menyambut kami.

Ah, entah memang ingin menyambut atau sekadar penasaran terhadap segerombolan wajah baru yang datang di kampung mereka. Bahasa yang tidak nyambung pastinya jadi kendala komunikasi antar pribadi serta antara tim dan masyarakat. Namun sebuah senyum ternyata dapat dimengerti dan memicu timbulnya senyum balasan.

Di saat itu pula rasanya hilang bayangan buruk mengenai masyarakat Papua yang banyak beredar. Memang mereka memiliki warna kulit yang gelap dan rambut ikal. Beberapa pemuda juga membawa senjata laras panjang dengan wajah yang dicoret-coret dengan arang atau tanah.

Dari penampilan mereka, kita pun langsung teringat akan organisasi di daerah Papua yang bergerilya ingin memerdekakan Papua. Namun suasana menegangkan tersebut akan sirna apabila kita mencoba mendekati dan berkomunikasi dengan mereka. Pendekatan yang tulus dapat langsung mereka rasakan.

Suasana kekeluargaan amat terasa diantara masyarakat Distrik Wano Barat. Hal ini dapat dirasakan dari keseharian mereka hidup bersama dalam sebuah honai, saling berbagi makanan, berbagi tempat untuk istirahat. Semua dibagi adil, baik babi guling, sayuran ataupun ubi rebus, dan dimakan bersama-sama. Sungguh merupakan sebuah kehidupan yang damai dan tenang.

Rasanya orang-orang yang hidup di perkotaan harus belajar banyak dari kehidupan masyarakat di distrik ini. Hidup di kota besar seringkali membuat kita memikirkan diri sendiri, asyik dengan diri sendiri tanpa peduli akan kehadiran orang lain.

Contohnya ketika memiliki persediaan makanan, mungkin kita akan menyimpannya untuk kepentingan perut sendiri. Namun berbeda dengan masyarakat Papua yang harus membagi makanan dengan adil.

Saat tim kedinginan ketika harus menginap di gedung Pustu Distrik Wano Barat, kami diajak untuk tidur di honai bersama masyarakat. Honai yang awalnya terkesan menyeramkan, jorok dan penuh asap, ternyata menjadi tempat yang sangat nyaman untuk beristirahat di tengah dinginnya udara.

Makan bersama dan beristirahat di tengah puluhan masyarakat, baik anak kecil maupun dewasa, membuat suasana semakin hangat dan terasa kekeluargaannya.

Dengan demikian, jangan takut untuk merangkul saudara-saudari kita yang berada jauh di pelosok timur. Mereka juga sama dengan kita, masih merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

The greatest gift that you can give to others is the gift of unconditional love and acceptance.

(Brian Tracy)