6 September 2016

Sumber Air Su Bersih

Share

Bagaimana warga Desa Tahalupu, Seram Bagian Barat, Maluku, yang pernah kena wabah akibat air tercemar kini mendapatkan aliran air bersih.

Tak ada yang mengingat dengan pasti kapan terjadinya dan berapa jumlah pasti korban peristiwa mengenaskan itu. Namun, penduduk Desa Tahalupu memiliki satu penanda khas mereka: peristiwa itu terjadi setelah kerusuhan Ambon pada 2000-an.

Amirudin Umagap (39 tahun), salah satu warga, mengingat masa-masa itu dengan nada mengerikan. “Hari ini di satu rumah ada satu anak yang meninggal, baru selesai dikubur, sudah ada lagi yang meninggal di rumah lainnya. Begitu, hingga berhari-hari,” katanya. “Belum kering satu tangis, disusul tangisan lain.”

Selain bocah, ada juga orang dewasa yang menjadi korban. Mereka semua meninggal dunia akibat diare. Masyarakat lokal menyebutnya dengan muntah berak (muntaber). Jumlah korban diperkirakan di atas 20 orang.

Tak ada dokter di desa ini. Tenaga kesehatan pun terbatas. Belum lagi Desa Tahalupu ini terletak di Pulau Kelang, Seram Bagian Barat, Maluku yang berjarak sekitar 3-4 jam dari Ambon melalui perjalanan laut dengan speed boat atau 2-3 jam perjalanan laut dari ibukota kabupaten, Piru.

Seingat Kasman Umagap, Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD), setelah peristiwa itu pihak kesehatan dari kabupaten melakukan penelitian tentang sumber air masyarakat. Saat itu, masyarakat mendapatkan air untuk masak, mandi, dan mencuci dari sungai dan sumur.

Sungai dinyatakan aman. Namun, hampir semua sumur di Desa Tahalupu ini tak layak konsumsi. “Tak layak karena mengandung bakteri E.coli,” kata dr. Johanis Tappang, M. Kes, Plt. Kepala Dinas Kesehatan Seram Bagian Barat. “Hanya ada dua sumur yang layak (konsumsi),” katanya.

Saat itu memang pernah ada upaya pemerintah daerah untuk membangun jaringan air bersih untuk masyarakat. Belum juga rampung pembangunannya, Maluku digusah kerusuhan Ambon pada kurun 1998-2000. Para pekerja yang rata-rata beragama Kristen tak meneruskan pekerjaan mereka. Penduduk Desa Tahalupu 100% muslim. Pembangunan itu pun terbengkalai.

Beberapa tahun kemudian, baru ada lagi tindak lanjut dari pemerintah daerah untuk pembangunan jaringan air bersih. Saat itu, air dialirkan dari sumber mata air di pegunungan menggunakan paralon. Baru setahun, aliran air mengecil dan kemudian mandek meski musim kemarau belum tiba.

Merasa janggal, masyarakat membuka paralon dan menemukan bahwa benda itu telah dipenuhi kapur. Ternyata, selama setahun mereka telah mengonsumsi air berkapur. Pantas saja, sepengetahuan Iwan Nidihu (39 tahun), saat itu ditemukan orang yang kena penyakit kulit.

“Orang di sini menyebutnya ‘sarampa’. Seluruh badan dipenuhi bintik-bintik merah. Panas seluruh tubuhnya,” kata Iwan, petugas yang ditunjuk aparat desa untuk mengurus air bersih.

Masyarakat tak ingin mengambil risiko. Mereka enggan untuk kembali menggunakan air yang mengalir dari paralon. Mereka pun memanfaatkan sungai untuk memenuhi kebutuhan air. Kala musim kemarau tiba, masyarakat harus berjalan kaki selama berjam-jam ke sumber air di pegunungan demi mendapatkan air bersih untuk memasak atau mencuci.

Ada dua lagi bantuan lainnya dari pemerintah untuk mengalirkan air. Yang saat ini masyarakat rasakan adalah pembangunan air untuk keempat kalinya. Menurut Iwan, proyek ini sudah berjalan sekitar tiga tahun dan terakhir, air dialirkan menggunakan pipa besi.

Tapi, pembangunan jaringan ini tak mengalirkan air secara langsung ke setiap rumah melainkan berwujud Kran Umum (KU). Total ada 30 KU di Desa Tahalupu ini. Jumlah KU per RT berbeda-beda, disesuaikan jumlah KK. Misalnya, di RT 1 ada 4 KU dan di RT 6 terdapat 5 KU.

Jaringan Prakarsa Warga
Selain KU, ada satu lagi sumber jaringan air bersih. Jaringan ini murni prakarsa warga yang ingin mendapatkan air bersih langsung mengalir ke rumah mereka masing-masing. Mereka gotong royong untuk mewujudkannya, mulai dari membeli paralon, selang, hingga sumbang tenaga.

“Hanya warga yang ikut membantu yang bisa menikmati air bersih ini,” ujar Hasan Umasugi (50 tahun), salah seorang warga yang ikut gotong royong.

Jaringan air warga ini hanya mengalir ke sekitar 40-an rumah. Mata air-nya tersendiri dan hanya untuk sedikit orang. Alirannya sangat deras dan tak kenal waktu – baik kemarau apalagi musim penghujan: pagi, siang, malam.

Di rumah Hasan, misalnya, kran tak berfungsi normal. Air pun kadang meluber ke mana-mana, bahkan pada musim kemarau seperti bulan Agustus ini. Pemandangan ini tentu berbeda dengan KU. Karena dipakai berjamaah, air dari KU hanya mengalir pagi dan malam hari.

Meski demikian, masyarakat masih bersyukur. Setidaknya mereka tak lagi harus naik berjam-jam ke gunung untuk mendapatkan satu-dua jerigen air bersih.

Merawat Air
Dalam urusan air, Iwan mengaku kerap jengkel terhadap warga yang tak begitu perhatian merawat air. Meskipun diberi tugas oleh desa, ia kewalahan jika harus mengurus persoalan air ini sendirian. Ia tetap membutuhkan bantuan warga.

Bagaimana pun, Iwan harus bekerja. “Kami tetap butuh makan,”ucapnya. Uang dari pengelolaan air tak menentu. Kadang-kadang saja ia mendapat pembayaran, itu pun tak seberapa. Karena itu, ia menarik iuran sebesar Rp 300.000 bagi warga yang ingin memasang air dari KU sampai ke rumahnya. Dana itulah yang ia gunakan untuk membeli pipa besi dan selang.

Iwan punya cara tersendiri untuk merawat air. Jika warga enggan bekerjasama, ia akan mendekati kepala sekolah dan meminta siswa gotong royong ke sumber air untuk membersihkan air atau menanam pohon di sekeliling sumber air. Desa Tahalupu memiliki 2 SD, 1 SMP, 1 MTS, dan 1 SMA. Bersama-sama mereka naik gunung untuk melakukan perawatan sumber mata air.

Iwan mengakui bahwa perlu tenaga lebih untuk bisa merawat sumber mata air.

Air dari mata air tak langsung merembah ke pipa. Air terlebih dulu perlu ditampung menggunakan bak besar. Air dari bak pertama ini disaring, lalu masuk ke bak kedua yang lebih kecil. Ketika masuk ke bak ketiga yang lebih kecil ketimbang bak kedua, air sudah mengalami proses penyaringan. Akhirnya, air yang masuk ke pipa pun sudah tersaring.

Bak-bak ini terbuat dari semen. Proses penyaringan berlapis ini dilakukan untuk memastikan bahwa air yang mengucur benar-benar bersih dan aman dikonsumsi warga.

Mereka merawat air dengan cara membersihkan sampah di semua bak. Dari sisi aparat desa, Kasman mengungkapkan bahwa pejabat desa memberi imbauan kepada warga agar tak melakukan penebangan pohon yang berada di lingkungan mata air.

“Demi menjaga kelestarian air, agar bisa terus dirasakan sampai anak-cucu kemudian,” tutur Kasman.

Menurut Kasman, air yang sudah tersaring bersih meminimalkan risiko warga terkena diare atau muntaber. Mereka aman untuk mengonsumsi air ini. Bahkan, sejumlah anak SD dengan enteng meminum langsung air dari KU yang ada di sekolah mereka. Padahal, itu air mentah.