7 November 2016

Kontekstualisasi Pendidikan

Share

Ketika kita berbicara tentang penyediaan pendidikan di daerah-daerah yang telah terabaikan selama bertahun-tahun, kita berbicara tentang daerah-daerah yang belum sepenuhnya berkembang terkait dengan infrastruktur dasar mereka. Mereka sebagian besar terletak di pinggiran Indonesia. Kita sering menyadari perlunya mendidik masyarakat yang tinggal di daerah-daerah ini dari pendekatan pembangunan top-down.

Tetapi pada titik ini, kita harus berhenti sejenak dan merenungkan pendekatan ini untuk memberikan pendidikan.

Menerapkan sistem pendidikan yang berfokus pada pendekatan terpusat dan urbanisasi berdasarkan premis bahwa saat ini sistem ini bekerja di dalam kota dan daerah perkotaan, mengabaikan fakta bahwa tidak semua orang tinggal di dalam daerah-daerah yang ditunjuk tersebut.

Dapatkah pendidikan disampaikan dengan menggunakan pendekatan lain, yang mencakup orang-orang yang tinggal di dalam area yang ditunjuk?

Namun, mungkin pertanyaannya bukan hanya apakah pendidikan dapat dikontekstualisasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan budaya, geografis, dan sosial, tetapi juga apakah pendidikan dapat dikontekstualisasikan dan disesuaikan untuk orang-orang yang tinggal di daerah terpencil di Indonesia.

Contoh untuk konteks seperti itu adalah pendidikan yang disediakan bagi orang-orang yang tinggal di dataran tinggi Papua, suatu wilayah, di mana akses ke perawatan kesehatan dasar dan pendidikan masih langka. Haruskah pendidikan mereka mempertimbangkan kesulitan ekonomi dan sosial yang nyata yang harus dihadapi banyak orang Papua? Hal ini menjadi sangat jelas ketika membandingkan situasi mereka dengan warga negara Indonesia lainnya yang tinggal, misalnya di pulau Jawa.

Atau haruskah hanya program pendidikan standar yang disediakan berdasarkan kurikulum nasional Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan ini harus ditanyakan dan dijawab ketika mengembangkan pendekatan untuk menyediakan pendidikan yang disesuaikan untuk individu yang tinggal di daerah terpencil di Indonesia. Namun, proses ini tidak hanya akan memberikan keterampilan dan pengetahuan tertentu kepada orang-orang yang ditunjuk, tetapi juga akan mengubah cara pandang mereka terhadap kehidupan. Hal ini, bertentangan dengan kepercayaan populer, dapat mengakibatkan hasil yang buruk baik bagi mereka maupun bagi lingkungan sekitar mereka.

Sebagai contoh, pendidikan di Hitadipa, sebuah desa kecil di dekat Sugapa, ibu kota Kabupaten Intan Jaya, hanya diselenggarakan oleh satu sekolah. Banyak siswanya yang telah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP (kelas 9).

Jumlah yang relatif banyak dari mereka melanjutkan sekolah ke tingkat SMA (kelas 10-12) di Sugapa, dan jika memungkinkan, banyak juga yang berhasil masuk ke perguruan tinggi di kota Jayapura atau bahkan perguruan tinggi yang berada di Pulau Jawa.

Namun, setelah menyelesaikan sekolah mereka, cukup banyak anak muda dan berpendidikan tinggi yang berjuang untuk mendapatkan pekerjaan atau memanfaatkan pendidikan mereka dengan baik. Misalnya Maria (22) harus menghadapi situasi seperti itu.

“Saya baru saja menyelesaikan gelar sarjana IT dari Bandung, Jawa Barat, tetapi saya kembali ke Hitadipa dan satu-satunya pekerjaan yang tersedia bagi saya di sini adalah membantu orang tua saya untuk mengurus pertanian. Bahkan di Sugapa, di mana pemerintah daerah telah mencari anak muda yang berpendidikan, persaingannya sangat ketat sehingga saya tidak berpikir bahwa saya akan mendapatkan pekerjaan.”

Topik pertama yang perlu dipertimbangkan adalah metode penyampaian pendidikan di satu sisi dan konten di sisi lain. Jika pendekatannya didasarkan pada metode standar yang didikte oleh pembuat kebijakan yang persepsinya tentang pendidikan terdistorsi melalui lensa Jakarta yang sangat urban, pendidikan tidak akan pernah sesuai untuk orang-orang yang tinggal misalnya di pedesaan Papua.

Orang Papua dididik sedemikian rupa sehingga mereka dapat beradaptasi dengan orang Indonesia lainnya dan dengan apa yang dianggap pemerintah pusat sebagai lebih modern dan lebih sesuai untuk masyarakat abad ke-21.

Bagaimanapun, ketika mendidik orang yang tinggal di pinggiran, seperti orang Papua di Indonesia, pertanyaannya adalah: Untuk siapa dan untuk tujuan apa mereka dididik? Apakah mereka diutamakan? Ataukah mereka hanya dididik untuk sekadar beradaptasi dengan identitas Indonesia yang pada dasarnya Jawa-sentris, dan sebagai akibatnya kehilangan identitas mereka sendiri dalam proses pendidikan?

Mengingat kurangnya infrastruktur dasar di banyak daerah di Papua, ‘peningkatan’ masyarakat yang dipaksakan secara sistematis ini akan menyangkal janji-janji sukses yang telah dijamin oleh sistem pendidikan.

Mereka tidak akan dapat mengambil keuntungan penuh dari pendidikan yang terstandarisasi dan berbasis perkotaan yang telah mereka terima, hanya karena fakta bahwa mereka tidak hidup dalam lingkungan perkotaan modern.

Solusi yang sering dilakukan, yang ditemukan oleh banyak orang Indonesia dari daerah pinggiran untuk mengatasi masalah ini, adalah dengan keluar dari lingkungan awal mereka dan melakukan “merantau”. Ini merupakan pengejaran kebahagiaan yang umum dilakukan orang Indonesia bagi mereka yang tinggal di luar Jawa, yang pada dasarnya diterjemahkan menjadi “merantau ke negeri lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik.”

Apa gunanya pendidikan mereka ketika individu tidak dapat mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka peroleh di lingkungan tempat mereka dilahirkan?

Mereka juga tidak bisa mengandalkan peluang kerja di lingkungan tersebut karena sangat langka. Pendidikan yang mereka terima tidak berguna di lingkungan sekitar mereka.

Hal ini lebih parah lagi karena mereka tidak diajarkan tentang bagaimana menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang telah mereka terima ke dalam masalah-masalah sosial yang mendesak yang dihadapi oleh komunitas lokal mereka. Pendidikan bagi mereka tidak lebih dari sekedar metode untuk berpartisipasi dalam sistem yang sudah mapan di daerah perkotaan dan daerah maju.

Lebih dari itu, pendidikan semacam itu dapat merusak identitas budaya masyarakat. Upaya-upaya untuk mengurangi dampak negatif dari perkembangan ini sangat kecil. Mereka sering terbatas pada penyediaan program-program seperti ‘muatan lokal’ di mana orang hanya belajar bahasa lokal mereka dan kadang-kadang beberapa alat musik tradisional. Program-program tersebut jarang sekali merujuk pada masalah-masalah sosial yang serius yang dihadapi oleh daerah-daerah pinggiran di Indonesia setiap hari.

Dengan asumsi bahwa mendidik masyarakat yang tinggal di daerah pinggiran ini benar-benar diinginkan, maka harus diperhitungkan bahwa masalah yang mereka hadapi setiap hari bisa jadi lebih kompleks daripada masalah yang dihadapi oleh masyarakat maju yang tinggal di kota.

Bagaimanapun, bentuk pendidikan yang harus diberikan di daerah-daerah ini juga harus mengacu pada isu-isu lokal. Jika masyarakat lokal harus dididik, maka lokalitas pendidikan harus menjadi pusat perhatian dari program yang harus disediakan.

 

Ditulis oleh: Ben K. C. Laksana
Diedit oleh: Jendrik Silomon