14 Desember 2016

Petaka Beton Gempa Pidie Jaya

Share

Rumah Aceh dan Meunasah di Pidie Jaya yang berbahan kayu mampu menahan guncangan gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter. Bangunan tradisional ini bahkan ada yang berusia hampir 300 tahun. Namun, mengapa rumah tradisional ini ditinggalkan orang yang justru telah menyelamatkan nyawa kala bencana terjadi?

Masjid Teungku Di Pucok Krueng Beuracan, Kecamata Meureudu, Pidie Jaya menyedot mata saya saat melintasi jalan lintas Banda Aceh – Medan. Masjid berwarna coklat yang berbahan kayu itu berdiri kokoh. Dan ramai orang berfoto di depan masjid. Masjid ini salah satu masjid klasik yang berdiri saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607 – 1636 Masehi. Didirikan oleh seorang ulama untuk menyebarkan ajaran Islam di bumi Rencong ini.

Saya berdiri dan menengok ke bagian dalam masjid. Tiang-tiang kayu di berbagai sudut berdiri tegak menyangga bagian atap. Siku-siku kayu saling mengait membentuk sudut yang kuat dan liat. Di halaman terdapat satu sumur yang biasa digunakan untuk wudhu kala hendak ibadah.

Sekalipun usianya sudah renta, masjid ini tidak reyot. Tiang-tiang kayu sama sekali tidak rapuh. Tiang terasa keras seperti batu. Konstruksinya yang liat sekaligus elastis ini telah menyelamatkan dari kerusakan parah akibat gempa Rabu pagi (7/12) berkuatan 6,4 skala richter itu. Kerusakan kecil hanya terlihat pada bagian tembok lantai.

Gempa ini telah merontokkan ratusan bangunan rumah dan pertokoan di Pidie Jaya, Aceh. Data yang terakhir dilihat tim di Posko Pengungsian mencatat 100 orang lebih meninggal dunia, 217 luka berat dan 462 luka ringan. Gempa selama 15 menit di pukul 05.00 pagi itu langsung merobohkan bangunan berbahan beton.

“Saat gempa tsunami, rasanya seperti ayunan. Namun, gempa kemarin rasanya seperti kita di atas mobil melewati jalan rusak,” kata Tengku Musafa Hasan Yahya, pemimpin pondok pesantren di Desa Blang Iboih, Pidie Jaya, Aceh. Gempa naik turun dan langsung membuat panik warga. “Gempa ini langsung mengingatkan pada peristiwa tsunami,” katanya.

Orang berhamburan lari menyelamatkan diri ke luar rumah. Sebagian tidak bisa menghindar dan terkena reruntuhan tembok dan beton.

“Ada 30 warga terjepit dan langsung meninggal dunia,” kata seorang warga saat ditemui di Pasar Mereudeu, Pidie Jaya.

Bangunan toko berlantai dua itu hancur lebur rata dengan tanah. Bangunan di sepanjang lintasan Banda Aceh – Medan ini hancur lebur. Rumah pertokoan ringsek. Besi-besi tiang beton tampak seperti rambut keriting. Jalan aspal amblas dan retak.

Namun tak semua gempa yang terjadi pada pagi itu merontokkan seluruh bangunan. Selain Masjid Teungku Di Pucok Krueng Beuracan, puluhan rumah panggung Aceh dan meunasah (masjid kecil) berbahan kayu justru mampu “menari” di atas gelombang gempa.

Berbagai rumah tradisional ini masih berdiri seperti biasanya. Dari pengamatan di beberapa rumah, tiang-tiang kayu hanya bergeser di atas sepetak batu ukuran lantai keramik rumah.

“Rumah kayu masih utuh tidak rusak sama sekali. Hanya perabotan saja yang rusak. Warga yang tinggal di rumah kayu bersyukur,” kata Tengku Musafa.

Sayangnya, di Pidie Jaya, warga sudah banyak yang memilih mendirikan rumah bertembok. Alasannya, rumah bertembok dianggap lebih maju ketimbang rumah kayu. Namun, saat gempa terjadi, rumah bertembok justru menjadi malapetaka.
Ratusan bangunan rumah toko dan rumah tinggal hancur lebur oleh gempa. Warga yang tidak siap banyak yang tertimpa robohan beton dan dinding bangunan.

Kejadian gempa di Pidie ini membuat warga berpikir kembali tentang rumah aman. Mereka melihat tak satu pun rumah kayu yang rusak akibat gempa. Sekalipun rumah bertembok masih memikat buat warga untuk membangun kembali rumahnya.

“Saya akan kembali membangun rumah bertembok,” kata seorang warga di Desa Blang Iboih.

Indonesia adalah lahan subur bagi gempa maupun tsunami. Deretan gunung berapi di sepanjang daratan Sumatra, Sulawesi, Kepulauan Maluku, Jawa hingga Nusa Tenggara Timur adalah ancaman sekaligus keberkahan. Berbagai peristiwa alam, baik gempa maupun tsunami yang terjadi telah menjadi pengetahuan dan pengalaman berharga bagi manusia Indonesia.

Di berbagai daerah, berdiri rumah tradisional yang sangat adaptif terhadap bencana. Seperti rumah Omo Hada di Pulau Nias. Juga syair semong yang dimiliki oleh warga Pulau Simeulue tentang kejadian tsunami. Berbagai khasanah budaya ini jadi penanda bahwa manusia Indonesia sudah lama bersahabat dengan kondisi alam sekitarnya, dan menyelamatkan kehidupan dari dahsyatnya bencana alam.