26 Maret 2017

Luka Mereka adalah Luka Kami

Share

Terjebak dalam perang kota. Dua kelompok berbasis suku saling melepas anak panah. Demi kepentingan politik menjelang putusan akhir pemenangan kepala daerah. Potret demokrasi di puncak Sugapa, Intan Jaya, Papua.

Dor. Dor. Dor. 

Bunyi senapan meletup memecah suara hening di sebuah lembah. Kepulan asap hitam mengepul hingga ke langit. Mama-mama dan beberapa anak kecil keluar rumah dan menengok di sela pagar kayu. Melihat dari kejauhan sebuah perang kecil akibat konflik politik lokal yang memanas. Tak jelas dari mana asal bunyi senapan yang meletup. Pun begitu juga dengan asal kepulan asap. Rumah siapa dan pihak mana yang membakar. Suasana terasa mencekam.

Tiba-tiba beberapa pemuda membopong salah satu warga yang terluka di bagian dada kirinya. Nafasnya tersenggal-senggal.

“Jantung rasa mau lepas. Ya Tuhan sakit sekali,” kata seorang pemuda sambil meringgis menahan rasa sakit. Bolong luka tampak terbuka pada bagian dada kirinya. Pemuda itu kesulitan untuk bernafas.

“Kasih baring. Berapa nadi RR-nya? ( Respiration Rate atau Frekuensi Pernafasan),” kata dokter Santi Yuanita, ahli bedah dari Jayapura. Dokter Reynaldo memeriksa tanda vital si korban.

“Panahnya sudah dicabut?”

“Sudah,dok,” kata pemuda lainnya.

“Tenang dulu. Saya bersihkan dulu,lukanya!,” kata dokter Santi. Dokter Herli langsung menyiapkan lembar laporan untuk menuliskan identitas si pemuda yang terluka itu. Salah satu keluarganya langsung membubuhkan tanda tangan pada laporan tindakan.

Dokter Santi meraba bagian lubang luka dengan jarinya. Memastikan tidak ada benda yang tertinggal di dalam dada. Dahinya mengernyit. Namun, ia masih kesulitan meraba dan mengukur seberapa parah luka di bagian dalam. Si pemuda meringgis menahan rasa sakit. Beberapa cairan pereda sakit langsung disuntikkan dibagian dada. Dokter Reynaldo dan perawat Mulhendra sibuk menyiapkan jahitan.

“Kita mau pasang selang di dada kiri supaya kurangi sesaknya. Keluarga setujukah? Kalau setuju bapak tanda tangan surat persetujuan,” kata dokter Santi menjelaskan pada keluarga si pemuda.

Selang terpasang. Pasien bisa bernafas lebih teratur. Ia duduk dengan tenang dan melahap nasi plus mie instan pemberian tetangga rumah.

Tak lama datang korban baru. Dua orang membopong si korban. Bagian kakinya berdarah.

“Kenapa ini?,” kata perawat Mulhendra.

“Kena tembak,dok,” jawab si pembopong. Korban diam menahan rasa sakit. Tampak dua lubang kecil pada bagian kaki kirinya Mulhendra segera mengambil perban dan betadhine. Lalu menjahitnya.

“Ada pelurunya?,” tanya dokter Santi.

“Tidak ada,” balas perawat Mulhendra.

Beberapa warga berkumpul melihat proses tindakan dari tim medis doctorSHARE. Mereka mengajak turun ke lapangan untuk mengobati korban lainnya. Kondisi ini memberi pilihan yang sulit bagi kami. Pertama, saat di lapangan kita tidak tahu persis bagaimana peta akar masalah yang terjadi. Kedua, tidak ada jaminan keamanan. Ketiga, pemerintah seharusnya siap dengan reaksi dari pilkada ini. Baik dari sisi keamanan hingga persiapan tim medis. Keempat, sulit untuk mencari tempat netral dimana korban dari masing-masing kelompok bisa terlayani.

Sugapa memang sudah memiliki satu puskesmas. Ada dua dokter dan beberapa perawat. Lokasinya persis dekat lapangan pasar Sugapa. Saat konflik berlangsung tak ada kontak dan kabar seberapa genting mereka menangani korban. Permintaan perorangan dari warga juga sulit kami penuhi. Dan bisa jadi hanya memenuhi satu permintaan kelompok saja. Dan bukan mustahil justru kelompok lain memicu kecemburuan dan kemarahan. Sekalipun dalam hati dan rasa kemanusiaan kami sudah mendidih ingin membantu para korban. Siapapun mereka.

Peristiwa sengkarut pilkada di Intan Jaya ini diluar dugaan kami. Rencananya agenda kami hanya melayani pelayanan medis di Hulagupa. Satu wilayah distrik yang ditempuh sekitar tiga jam melalui ojek sepeda motor dari Sugapa. Saat konflik, ojek yang kebanyakan pendatang, tidak berani melayani permintaan. Mereka memilih untuk diam bersama keluarga dan menghindari dari konflik.
Di sisi lain, peralatan dan logistik obat-obatan kami pun terbatas. Dan tidak diperuntukkan untuk pengobatan korban konflik.

Hari itu, 25 Februari 2017, masyarakat masih menunggu hasil akhir putusan pleno dari KPU Intan Jaya mengenai pemilihan kepala daerah Intan Jaya.

Pengumunan resmi belum muncul. Namun desas desus hasil suara akhir sudah beredar dari satu mulut ke mulut lainnya. Desas desus ini membuat kelompok pendukung berbasis suku mulai berkumpul di jalanan. Jalan-jalan dipalang kayu balok. Orang tidak boleh keluar dari kota. Bandara perintis Sugapa ditutup untuk penerbangan apapun. Sugapa terisolir dari kontak luar.

Intan Jaya dihuni oleh warga dari Suku Moni dan Suku Dani. Dua suku mayoritas yang berada di wilayah pegunungan Papua. Dua suku ini sering terlibat dalam konflik. Penyebabnya macam-macam. Mulai dari urusan perempuan, perkelahian anak muda hingga urusan politik seperti pilkada. Setiap kali berkonflik dijawab dengan kekerasan. Dan diselesaikan secara adat tanpa ada penyelesaian hukum.

Untuk pertama kalinya kami melihat praktik demokrasi yang berjalan di Intan Jaya. Sebuah wilayah baru hasil pemekaran dari kabupaten sebelumnya, Paniai. Kami hendak melakukan pelayanan medis di Hulagupa. Namun, kejadian ini memaksa kami untuk tidak melanjutkan pelayanan medis.

“Suasana belum aman. Tak ada ojek yang mau mengantar,” kata Noga, seorang warga yang biasa mendampingi kami di lapangan.

Kami memilih untuk tinggal di rumah dinas milik petugas bandara yang letaknya berdekatan dengan bandara perintis Sugapa. Rumah ini cukup aman dari amukan massa yang terlibat konflik. Dari sini kami hanya mampu memantau dari kejauhan. Menunggu konflik reda.

Memahami konflik di Papua memang tidak mudah. Sekalipun kami sudah beberapa kali berkunjung ke wilayah pedesaan. Dan melakukan pelayanan medis kepada warganya. Di lapangan, Papua memang miskin pelayanan publik. Puskesmas dan tenaga kesehatannya terbatas. Sekolah dihuni tanpa guru. Hingga persoalan infrastruktur. Dan harga kebutuhan yang selangit.

Keterbatasan ini menjadi bagian hidup dari keseharian warga Papua di pegunungan. Tak salah jika warga berharap, otonomi khusus yang berjalan di Papua, menjadi jalan keadilan dan peningkatan kesejahteraan warganya.

Namun, tak mudah mewujudkan harapan dan mimpi di tengah keterbatasan ini. Pemerintahan daerah harus bekerja keras agar program pembangunannya tepat sasaran dan adil bagi siapapun. Tanpa pandang bulu mereka datang dari kelompok suku apapun. Mereka harus bisa merancang prioritas pembangunan. Selama itu tidak terjadi, sulit untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.

Saat konflik mulai mereda, akhirnya kami memberanikan diri untuk melihat korban yang dirawat di puskesmas. Kami diantar oleh petugas bandara, Ramli. Di ruang rawat, terlihat lima pasien. Empat orang terluka di bagian leher. Dan satu terluka di bagian punggung telapak kakinya. Kami hanya sanggup menjahit dan mengganti perban. Dan merekomendasikan pada petugas untuk dibawa ke rumah sakit di Nabire maupun Jayapura.

“Saya ingin bantu di puskesmas itu. Tapi saya ragu tidak ada jaminan keamanan. Ini dilema,” kata dokter Santi.

Sedih melihat kekacauan di Sugapa yang seharusnya tidak terjadi. Konflik ini jika dibiarkan terus menurus justru akan mengancam persoalan yang lebih dalam dan serius lagi. Dan korban terbesarnya adalah masyarakat sendiri. Mereka tidak hanya kehilangan keluarga dan harta benda. Tapi kehilangan perdamaian dan kepercayaan. Warga dihinggapi rasa takut yang justru membuat mereka semakin miskin dan tertinggal.

Bagi kami, konflik ini adalah pembelajaran yang sangat berharga untuk melihat Papua lebih dalam lagi. Lebih serius lagi. Bahwa konflik dan akar kekerasan adalah salah satu persoalan serius di Bumi Cendrawasih ini. Peristiwa ini juga membuka hati nurani kami untuk jauh lebih peduli pada Papua.

Luka mereka juga luka kami.