20 September 2017

Nyanyian Haru di Pegunungan

Share

Perjalanan Tim Dokter Terbang di Pegunungan Papua

Hempasan angin menerpa rerumputan saat helikopter yang ditunggangi tim Dokter Terbang hendak mendarat. Dari dalam helikopter terlihat deretan bukit hijau mengelilingi lokasi pendaratan helikopter. Saat helikopter menyentuh tanah, seorang pria datang menghampiri pintu helikopter. Pria tersebut mengenakan Koteka, lengkap dengan aksesori berupa tindik paruh cendrawasih di hidungnya.

Anggota tim mulai turun dari helikopter satu per satu, pria yang menghampiri tadi lekas mengenalkan dirinya. Pria tersebut bernama Nanias, Kepala Suku Desa Matadi, Distrik Biandoga, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Seusai mengenalkan diri, Nanias menginstruksikan para pemuda dan anak-anak untuk membantu memindahkan barang bawaan tim ke sebuah gereja. Anak-anak pun terlihat sangat ceria menyambut tamu asing yang datang.

Selain Matadi ada sembilan desa di Distrik Biandoga yaitu Etamani, Bominatadi, Mayapo, Dimpa, Didiwoi, Baidotadi, Lempabiru, Dabuga, dan Wadambabutu. Desa Matadi dipilih menjadi lokasi pelayanan medis Dokter Terbang. Adanya tempat yang rata dan lapang untuk lokasi pendaratan helikopter, menjadi alasan tim memilih Desa Matadi.

Dibantu penerjemah, tim menjelaskan maksud kedatangan tim kepada perangkat desa. Sebenarnya kabar kedatangan tim dan kegiatan pelayanan medis sudah disebar ke semua desa. Dibantu pemerintah setempat, informasi sampai di masyarakat beberapa hari sebelum tim tiba. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan bisa datang ke Matadi.

Hari pertama di Matadi dihabiskan untuk menyiapkan berbagai keperluan pelayanan kesehatan keesokan harinya. Setelah semuanya dipastikan siap, tim memanfaatkan waktu luang untuk berjalan keliling desa. Tim bertemu masyarakat saat merayakan pengupasan Buah Merah yang dipendam dalam tanah sekitar satu tahun.

Saat tim mulai membaur dengan masyarakat, tiba-tiba mereka bernyanyi dengan riang. Tim merasa terhibur dengan nyanyian tersebut, meskipun tidak tahu arti dan maksudnya. Seiring waktu berjalan, nyanyian yang awalnya riang perlahan menjadi lebih lamban ditambah suara yang bergetar. Nanias dan Kepala suku Desa Didiwoi, Timotius terlihat meneteskan air mata. Seketika semua anggota tim mulai bertanya-tanya perihal nyanyian tersebut.

Saat tim bertanya kepada masyarakat tidak ada yang mengerti karena tidak menguasai Bahasa Indonesia. Penerjemah yang kami bawa berasal dari Suku Moni, sementara lagu yang dinyanyikan mengandung bahasa yang dipakai masyarakat Distrik Biandoga, Bahasa Walani. Salah satu anggota tim dari Intan Jaya, Abniel menjelaskan nyanyian tersebut berjudul Menetawa Emo i iaia Waeo yang artinya Di Belakang Gunung Tidak Ada Kemajuan.

“Secara garis besar masyarakat mengatakan hal yang jujur mengenai keadaan desanya, dan saya sangat terharu,” kata Abniel.

Abniel menjelaskan makna dalam nyanyian tersebut adalah keheranan masyarakat didatangi tamu dari jauh. Selama ini masyarakat menganggap dirinya sebagai anak yatim dan tidak dipedulikan. Melalui nyanyian masyarakat juga bertanya untuk apa datang jauh-jauh ke sini? Ke desa di pegunungan Papua ini? Di sini hanya ada rumput, bebatuan, dan kayu.

Rasa haru seketika timbul melihat masyarakat menangis. Di kesempatan ini, kami benar-benar merasa banyak diberi pelajaran oleh masyarakat di pegunungan Papua. Nyanyian yang disajikan merupakan sebuah bentuk dari ratapan, rengekan, bahkan teriakan yang tidak dapat menembus deretan bukit di sekitar tempat mereka bermukim.

Sangat jarang orang luar yang datang ke Distrik Biandoga, bahkan oleh sesama warga Kabupaten Intan Jaya. Satu-satunya akses ke Biandoga adalah dengan helikopter. Tidak ada akses jalan darat dan lapangan terbang untuk mendarat pesawat perintis. Jika hendak berjalan kaki ke Biandoga, butuh waktu sekitar dua minggu dari Nabire.

Jauh sebelum tim berangkat ke Biandoga, Ketua DPRD Kabupaten Intan Jaya, Marten Tipagau menjelaskan keadaan Desa Matadi yang jauh dari akses kesehatan. Lagi-lagi karena tidak adanya akses menuju ke sana. Marten mengakui bila pemerintah daerah juga kesulitan untuk mencapai daerah tersebut.

“Distrik Biandoga ini sangat sulit akses transportasi, bahkan oleh kami pemerintah daerah,” tutur Marten.

Jika dilihat seisi desa, tidak ada satupun bangunan permanen yang berdiri. Desa Matadi memiliki satu bangunan gereja terbuat dari kayu dan beralaskan tanah. Sisanya honai-honai milik warga dengan satu kamar mandi yang tertutup dedaunan. Tidak ada jaringan listrik, apalagi sinyal telepon selular. Fasilitas MCK umum dibuat secara swadaya oleh masyarakat, berdinding daun dan terdapat sebuah lubang untuk menampung kotoran.

Bagaimana dengan fasilitas kesehatan? Tidak ada satupun fasilitas kesehatan di Desa Matadi. Tidak ada balai pengobatan atau puskesmas berdiri di sini. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2015, ada 9.754 unit puskesmas tersebar di Indonesia. Dari jumlah tersebut tidak ada satupun berdiri di sini. Kalaupun ada puskesmas, apakah ada tenaga medisnya? Bagaimana dengan obat-obatannya? Tentu tidak mudah untuk sampai di wilayah pegunungan Papua.

Masyarakat Desa Matadi, melahirkan anak mereka secara mandiri. Beberapa Mama mengakui hanya menungging di samping Honai. Seorang warga Matadi, Timotius Galipa memperagakan bagaimana perempuan di desanya ketika melahirkan. Bagaimanapun ini adalah sebuah fenomena memilukan. Bukan saja bagi si ibu yang melahirkan, tapi bagi negeri ini.