9 Oktober 2017

Dilema Dukun dan Dokter

Share

Cerita dukun dan dokter di pinggir Indonesia tak ada habisnya. Entah soal dukun yang bekerja sama dengan dokter, atau dukun yang bersaing dengan dokter. Padahal keduanya sama-sama ingin menyehatkan warga, tapi mau bagaimana, kalau sudah berkaitan dengan uang, urusan sehat pun jadi runyam.

Begitu juga kisah dukun dan dokter di Kecamatan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Di sini, masyarakat masih percaya dengan dukun. Setiap penyakit punya dukun yang berbeda. Penyakit yang berhubungan dengan suhu tubuh misalnya bisa datang ke dukun di pinggir dermaga. Penanganannya sederhana: air dibacakan doa dan semacam mantra, lalu diminumkan ke pasien. Hasilnya macam-macam.

“Ada yang merasa baikan, ada juga yang tidak,” ujar salah satu warga Pulau Tiga, Raja Harmizan.

Sementara untuk kasus anak, dukunnya berbeda. Sepertinya dukun sudah mengenal istilah spesialis anak. Penyakit apapun, asal diderita oleh anak penanganannya serupa: dipijat.

“Masyarakat memang masih banyak percaya dukun,” ujar Kepala Puskesmas Kec. Pulau Tiga, dr. Muhammad Fadhil.

Pernah suatu ketika, ada seorang warga yang hamil. Dokter Fadhil datang memeriksa dan menduga sang ibu mengandung anak kembar. Sayangnya, Fadhil juga melihat ada gejala eklampsia (sejenis masalah pada masa kehamilan yang dapat menyebabkan kejang). Ia menyarankan untuk lahir secara caesar (bedah).

Pagi hari saat tiba waktu bersalin, di rumah ibu hamil sudah ada empat dukun. Keempatnya menyarankan sang ibu tidak mengikuti saran dokter dan tetap melahirkan normal. Fadhil tidak diizinkan masuk oleh tuan rumah.

Alhasil, satu bayi meninggal sebelum berhasil dilahirkan. Sementara kondisi sang ibu sudah kejang-kejang. Melihat keadaan seperti itu, Fadhil mencoba membujuk kembali sang suami. “Ini sudah terlambat untuk bicara persalinan, sekarang fokus kita untuk menyelamatkan ibunya saja dulu!,” kata Fadhil

Alih-alih bersedia, sang suami malah mengeluarkan golok. Ia datang menghadapi Fadhil dan mengiznkannya menangani persalinan yang sudah setengah jalan itu dengan ancaman. “Kalau istri saya mati di tangan dokter, dokter juga mati di tangan saya,” tiru Fadhil.

Mendengar ancaman itu, Fadhil takut. Ia menghubungi tokoh masyarakat setempat untuk melindungi dirinya agar dapat menangani ibu hamil dengan tenang, bebas dari ancaman. Di penghujung hari, akhirnya sang ibu berhasil diselamatkan. Satu bayi dilahirkan, hanya tak lama meninggal.

“Karena sempat kejang-kejang, ibunya juga jadi tidak normal, ada kelainan syaraf,” terang dokter asal Karawang, Jawa Barat ini.

Kepercayaan warga dengan dukun berhubungan dengan cara warga melihat penyakitnya. Muhammad Daud misalnya, sudah 20 tahun memiliki benjolan kecil di lututnya. Menurutnya ukuran benjolan itu berubah-ubah tergantung bulan. “Kalau bulan besar (purnama), dia (benjolan) besar, kalau bulan kecil, dia kecil,” tuturnya.

Kalau sudah begitu, air yang dijampi pun akan diterima sebagai obat. Beruntung praktik yang dilakukan dukun di Pulau Tiga tidak melewati batas seperti melakukan pembedahan dan semacamnya.

Hal lain yang membuat warga berobat ke dukun adalah biaya. Suradi misalnya, memandang biaya pengobatan dokter untuk gigi dan sunat masih mahal. Padahal, pengobatan di puskesmas sekarang sudah bisa gratis.

Dokter Fadhil sendiri sudah mencoba berbagai pendekatan untuk “berdamai” dengan para dukun. Menurutnya, pada dasarnya dukun-dukun ini takut kehilangan pekerjaan jika warga bergantung pada dokter. “Padahal kita tidak berniat menghilangkan pekerjaan mereka, kita hanya ingin menolong warga,” ucap Fadhil.

Pendekatan pertama yang dilakukan adalah menjadikan dukun sebagai mitra. Alih-alih memusnahkan keberadaan dukun, Fadhil dan tim memilih mengedukasi dukun dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan medis. Tujuannya agar dapat menangani pasien lebih akurat.

Fadhil juga menjadikan dukun sebagai gerbang pertama warga. Jika dukun merasa tidak bisa menangani, sang dukun harus mendatangkan tim medis dari puskesmas untuk membantu menangani.

Bagaimanapun, fokus utama keduanya haruslah menyehatkan warga. Jika masing-masing sudah fokus ke uang, pasti bertengkar. Tapi mau bagaimana, untuk bisa melayani orang, terkadang diri sendiri harus sudah aman jasmani dan rohani, termasuk ekonomi.