22 Agustus 2018

Menjadi yang Terkecil dalam Pelayanan

Share

Sejak kecil saya selalu diarahkan (bahkan dituntut) menjadi yang terbaik. Kata-kata macam “pemimpin”, “juara”, “prestasi” sudah jadi makanan sehari-hari. Efeknya, alih-alih berusaha keras, saya malah sering cemburu dan iri melihat teman mendapat juara atau menjadi ketua kelas. Ini terbawa sampai dewasa. Hidup rasanya jarang sekali disyukuri, malah terus saja membandingkan diri dengan hidup orang. Lama-lama Lelah juga. Saya pikir hidup saya kok tidak ada senangnya ya?

Suatu hari, saat dalam keadaan terpuruk, saya melihat seorang pemulung kecil seusia anak SD tergeletak tidur di minimarket dekat kamar kost. Barangkali karena saya sedang di posisi sulit, saya berempati dan memutuskan membelikannya susu dan roti. Lalu dia seperti heran menerimanya, lalu memakannya dengan lahap. Saya segera pergi tanpa dengar ucapan apa-apa darinya, malu.

Saat pulang saya malah merasakan kepuasan. Aneh juga, kita sudah susah, rugi uang membelikan makanan, tapi malah senang dan puas. Pengalaman sederhana ini yang menjadi motivasi awal bergabung menjadi relawan doctorSHARE.

Saya sendiri adalah seorang juru video dengan latar pendidikan studi jurnalistik, intinya saya tidak bisa mengobati orang! Tapi malah jadi relawan di doctorSHARE. Dari namanya saja sudah jelas, itu organisasi kumpulan para dokter. Di sana saya bergabung sebagai relawan media, tugasnya: dokumentasi dari gambar hingga tulisan.

Karena itu organisasi dokter, awak dokumentasi pasti tidak mendapat prioritas utama di lapangan. Ini sangat bertolak belakang dengan mazhab “menjadi yang terbaik” yang selama ini saya anut. Tapi, saat pelayanan medis pertama saya di Morotai, saya lihat orang-orang begitu hangat menerima kami, lalu setiap mereka ke luar dari kapal setelah dioperasi terlihat ada kelegaan. Beberapa warga bahkan inisiatif datang membawakan makanan kecil sebagai bentuk perhatian.

Saat melihat hal-hal seperti itu, entah mengapa pemikiran bahwa dokumentator adalah anak tiri dalam tim hilang. Yang terpikir dalam diri hanya bagaimana saya dapat membantu lebih banyak agar semakin banyak orang tersenyum lega.

Akhirnya dari sekedar mengambil gambar, menjadi pembantu umum pun saya lakukan. Dari tukang angkut barang, sampai tukang antar makanan. Pikir saya, jika tidak dapat membantu masyarakat secara langsung, saya masih bisa membantu tim dokter yang bekerja untuk mereka.

Senang juga rasanya, jika melihat ada pasien yang berterima kasih, tersenyum, lalu pulang. Saya suka merasa ada andil dalam senyuman itu, walau itu sebenarnya saya ngaku-ngaku saja. Tapi saya mendapat kepuasan dan kedamaian yang saya cari-cari justru lewat kegiatan macam ini.

Alhasil, saya berganti mazhab. Maaf, bukan bermaksud menghianati orang-orang yang sudah mendidik saya dulu, tapi yang saya temukan, kebahagiaan ternyata adanya bukan saat kita berada di puncak, tapi justru saat kita berada di paling bawah dan melayani mereka yang (salah satunya) berada di bawah. Memang saya belum ada baca buku soal ini, apalagi menemukan teorinya, tapi ini cuma berdasarkan pengalaman pribadi. Barangkali kalau saya sudah jadi bos besar nanti, bisa jadi saya ganti mazhab lagi.

Lalu apa saya menyesal menjadi seorang juru video di organisasi dokter? Dalam lamaran saya jelas saya tulis “kalau saja saya lulusan kedokteran, saya pasti melamarnya jadi tim dokter bukan jadi videografer.” Tapi seiring proses saya malah lebih menikmati menjadi awak dokumentasi. Saya dapat belajar banyak hal dari dokter dan juga pasien, dari doctorSHARE dan juga pemerintah daerah. Saya mendapat lebih banyak perspektif, lebih kaya ilmu, dan lebih banyak menyaksikan momen penuh emosi dari senang hingga haru. Lumayan juga untuk refleksi diri.

Akhirnya, saya belajar bahwa hidup tidak perlu menjadi orang besar dan melakukan hal besar untuk dikenang. Tapi seperti Bunda Theresa bilang, kita bisa melakukan hal kecil dengan cinta yang besar. Lagipula agama saya juga mengajarkan untuk melayani dan menjadi pelayan, jadi saya sih percaya saja kalau itu jalan menuju damai dan bahagia.