15 September 2018

Jadi Saksi Proses Kelahiran

Share

Tahun 2014 saya pernah mendapat tantangan dari teman-teman perempuan saya untuk menonton video proses melahirkan di media sosial Youtube. Saya lupa topik apa yang kami bicarakan saat itu. Tantangan itu meluncur begitu saja dari salah satu teman saya yang bernama Ririn. Kini Ririn sedang melanjutkan kuliah magister di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung.

Kata cewek-cewek ini, menonton video proses melahirkan akan membuat saya lebih menghormati perjuangan ibu. Dengan penuh penghayatan, teman-teman saya ini menggambarkan bagaimana perjuangan dan rasa sakit yang ibu alami saat mengeluarkan manusia baru ke dunia. Sontak saya menolak tantangan itu. Jelas alasannya adalah takut. Gambaran rasa sakit berhasil mempengaruhi pikiran saya.

Dua tahun berselang, tepatnya 17-26 Juli 2016, saya terlibat dalam pelayanan medis ke Pulau Doi, Halmahera Utara bersama tim relawan doctorSHARE. Saya lulusan Jurnalistik Fikom Unpad, saya berperan sebagai tim media bukan sebagai tim medis. Tugas saya adalah meliput dan mendokumentasikan peristiwa-peristiwa selama pelayanan medis.

Peristiwa unik bagi saya dalam pelayanan medis ke Pulau Doi adalah dua operasi kelahiran sesar. Saya menyaksikan dan mendokumentasikan dua operasi tersebut secara langsung. Rasanya seperti jawaban atas tantangan teman-teman saya dua tahun sebelumnya. Saya menyaksikan proses melahirkan secara langsung, bukan lewat video.

Dua pasien operasi sesar tersebut adalah Raodah Ali dan Kartina Djikan. Kondisi kehamilan kedua ibu ini sangat serius. Raodah mengalami posisi janin melintang atau sungsang dengan kepala bayi belum menghadap ke bawah. Normalnya, bayi lahir dalam kondisi kepala keluar terlebih dahulu kemudian diikuti badan dan kaki. Posisi janin sungsang atau melintang membuat Raodah harus menjalani operasi sesar.

Bayi Raodah diberi nama Dani Dharmawan. ‘Dani’ merupakan gabungan dua nama dokter yang menangani operasi sesar, yaitu dr. David E. Tantry, Sp.OG dan dr. Nidia Limarga. Sedangkan ‘Dharmawan’ diambil dari nama kapal tempat si bayi dilahirkan sekaligus nama belakang pendiri doctorSHARE.

Sedangkan kehamilan Kartina Djikan adalah kehamilan ke-10 di umur 44 tahun. Saat diperiksa pada 22 Juli 2016, Kartina diketahui sudah mengalami pecah ketuban dua hari sebelumnya. Dokter yang menangani kasus Kartina, dr. David E. Tantry, Sp.OG akhirnya memutuskan untuk melakukan operasi sesar keesokan harinya. Selain itu, Kartina juga harus menjalani proses tubektomi atau pemotongan saluran indung telur. Dengan tubektomi, sel telur tidak bisa memasuki rahim untuk dibuahi.

“Bayi kedua ini (bayi pasien Kartina) sudah pecah ketuban dua hari, selain bayinya bisa meninggal dalam perut, ibunya juga bisa infeksi. Untuk kasus kedua ini, ibunya juga kita tubektomi ya, kita steril. Soalnya entar malah bisa hamil lagi mungkin. Jadi untuk menghindari semua risiko, kita tubektomi,” ujar dr. David E. Tantry, Sp.OG.

Sehari sebelum persalinan, saya bersama rekan satu tim, Olfi Fitri Hasanah menemani suami dari Kartina, Agustinus Nikere mempersiapkan perbekalan dan pakaian untuk persalinan istrinya. Setelah mendapatkan rujukan dari dokter untuk operasi sesar, kami segera berangkat dari desa Dama menggunakan perahu menuju rumah Agustinus di Desa Cera. Perahu ini tidak bermesin, jadi Agustinus mendayungnya hingga tujuan.

Desa Dama terletak di bagian selatan Pulau Doi, sedangkan Desa Cera terletak di bagian utara pulau. Perjalanan mengitari sebelah barat pulau Doi dari desa Dama ke desa Cera memakan waktu dua jam menggunakan perahu. Waktu yang cukup menyiksa jika dibarengi rasa sakit bukaan delapan.

Agustinus bercerita bahwa sampan kecil yang digunakannya biasa dibawa ke tengah laut untuk mencari ikan. Ke tengah laut! Menurut logika saya, sampan kecil mudah saja terempas ombak atau badai di tengah laut. Nyatanya, nelayan dari pulau Doi mampu membaca tanda-tanda akan datangnya ombak atau badai sehingga bisa menghindarinya. Atau jika ternyata ombak dan badai telanjur mengempaskan sampan mereka, mereka punya keahlian renang tingkat advance untuk menyelamatkan diri.

Setelah dua jam, kami sampai di rumah Agustinus Nikere di desa Cera. Kami sempat berkeliling desa mencari perahu ketinting untuk kembali ke rumah sakit apung di desa Dama. Perjalanan menggunakan ketinting bermesin lebih cepat daripada perahu milik Agustinus. Sementara kami mencari ketinting, Agustinus dan kedua anaknya menyiapkan perlengkapan dan perbekalan. Tepat pukul tiga sore kami kembali ke Dama.

Rumah sakit apung berlabuh di Tobelo keesokan harinya pukul delapan pagi. Beberapa peralatan dan satu dokter tambahan didatangkan dari RSUD Tobelo. Operasi sesar Kartina Djikan berjalan lancar dan sang bayi diberi nama Jefferson Nikere.