10 April 2017

Problematika Kesehatan Indonesia dan Kontribusi Rumah Sakit Apung (Bagian 1)

Share

16 Maret 2013, Rumah Sakit Apung (RSA) dr. Lie Dharmawan mencatat sejarah dengan melakukan pelayaran perdana ke Pulau Panggang di Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Belum pernah ada sebuah kapal kayu yang sedemikian kecil (ukuran 23,5 x 6,5 meter), sebuah kapal tradisional Pinisi, dijadikan Rumah Sakit dan operasi mayor dilakukan di atasnya.

Pengalaman pertama ini memberikan bukti bahwa kapal kecil itu dapat melakukan tugasnya sebagai sebuah rumah sakit, sekaligus membesarkan hati kami para dokter – terutama ahli bedah – bahwa walaupun masih ada kesulitan yang harus diatasi dan membutuhkan adaptasi, persoalan bisa diatasi.

Pengalaman perdana ini benar-benar membuat kami percaya diri dan bersemangat melanjutkan muhibah ke tempat-tempat yang tantangan dan tingkat kesulitannya lebih besar. Berturut-turut Kabupaten Belitung Timur dan Ketapang di Kalimantan Barat kami singgahi, sebelum akhirnya RSA kembali ke Jakarta, naik dok, dan direparasi besar-besaran. 

Mesin yang awalnya mesin truk, diganti dengan mesin kapal berkekuatan 340 HP, body kapal dilapis fiber, sirip kemudi diganti dengan yang lebih besar, dan kemudi manual diganti dengan hidrolik. Sistem navigasi dan komunikasi pun dipercanggih. RSA pertama ini benar-benar “disulap” dari kapal barang menjadi sebuah Ruman Sakit di atas kapal dengan segala peralatan modern sesuai standar. 

Pengalaman menjalankan Rumah Sakit bergerak selama empat tahun terakhir memberi keyakinan kepada kami, bahwa apa yang telah kami lakukan bermanfaat bagi saudara-saudara kita yang berada di daerah-daerah terpencil dan pulau-pulau terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Pelajaran Berharga Rumah Sakit Apung

Sebuah pelajaran berharga pun boleh kita petik sejak ide RSA bergulir hingga detik ini, delapan tahun kemudian. Pelajaran itu adalah ketika mata dan fokus pikiran tertuju pada sesuatu yang kita idam-idamkan, disokong energi yang tak habis-habisnya (ausdauer dalam bahasa Jerman) oleh keyakinan yang kita miliki dan diperkuat kecintaan serta kebanggaan akan impian bersama sebagai sebuah nation, semua kesulitan pun akan mampu kita atasi.


Ketika renungan ini ditulis, walau beban yang harus saya pikul terasa berat, namun hati saya penuh dengan kegembiraan dan optimistis. Betapa tidak, secara restrospektif ketika ide ini lahir delapan tahun silam, tak ada seorang pun mempercayai proyek ini, bahkan dilecehkan.


Bayangkan, selama empat tahun sebelum RSA pertama berlayar, beban mental berupa sindiran halus sampai penghinaan terang-terangan (“kamu gila”) serta beban finansial yang harus ditanggung sendiri sangatlah berat. Hanya karena semangat menggebu dalam iman bahwa Dia akan menolong orang yang mau melakukan kebaikan serta rasa bangga dan cinta yang tulus pada NKRI-lah maka proyek ini pada akhirnya berhasil.


Ini semua ditulis bukanlah untuk “curhat”, “curcol”, “baper”, dan aneka istilah anak gaul jaman sekarang. Tidak. Sebaliknya, untuk menggambarkan kegirangan dan keyakinan bahwa kesulitan terbesar yang utama adalah mengalahkan diri sendiri. Kita bisa melakukan sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Sebuah batu patokan (milestone) telah diletakkan.


Sekarang tinggal mencocokkan apakah ide awal membuat sebuah RSA masih relevan dan dibutuhkan dan apa saja kesulitan-kesulitan lainnya yang harus diatasi. 


Ide awal pembuatan sebuah RSA lahir dari keprihatinan akan sulitnya pasien-pasien di daerah terpencil untuk mendapatkan pelayanan medis yang adekuat dan terkangkau. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis dan kehidupan yang sejahtera dijamin oleh UUD negara kita.
Kesulitan aksesibilitas akan pelayanan medis yang memadai tetap ada dan tampaknya akan selalu ada dalam jangka waktu yang belum diketahui hingga bertahun-tahun ke depan. 


Kesenjangan Pelayanan Kesehatan dan Jebatan Statistik Rasio Dokter

Mari kita petakan fakta-fakta dan persoalan-persoalan yang kita hadapi. Indonesia adalah negara kepulauan dengan luas kira-kira lima juta kilometer persegi yang terdiri dari 17.500 pulau berdimensi kurang lebih 1,97 kilometer persegi. Diskrepansi antara Indonesia bagian barat dan timur sangat besar dari infrastruktur fisik yang berimbas pada pertumbuhan ekonomi, pendidikan, distribusi penduduk, maupun pelayanan medis.


Secara keseluruhan, IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di belahan timur Indonesia lebih rendah daripada saudara-saudaranya yang bermukim di barat. Kenyataan ini disebabkan oleh pembangunan yang lebih dipusatkan di barat Indonesia, sejak jaman penjajahan Belanda dan setelah kemerdekaan. Ada daerah-daerah pedalaman yang kami kunjungi belum pernah melihat sekalipun seorang dokter selama Indonesia merdeka. 
Minimnya sarana transportasi jalan raya hingga mahalnya harga bahan bakar (BBM) menghambat transportasi pasien ke sentra-sentra medis yang jumlahnya sangat tidak memadai. Belum lagi perjalanan laut saat ombak besar dan angin kencang yang mustahil dilakukan, menyebabkan banyak kasus terbengkalai. Tak mengherankan jika angka kematian ibu melahirkan tinggi.


Kurangnya tenaga medis yang melayani dan memberi penyuluhan tentang cara hidup bersih dan sehar berimbas pada masih tingginya prevalensi penyakit menular seperti TBC, diare, penyakit kulit, tifus, dan sebagainya. Fakta-fakta dan persoalan-persoalan di atas pun membuat kita bertanya-tanya, bagaimana sesungguhnya pelayanan dan kemampuan pelayanan kedokteran kita.


Di Indonesia, ada kira-kira 105.000 dokter teregistrasi yang melayani lebih dari 250 juta penduduk Indonesia. Dari 105.000 dokter ini, kita tidak tahu berapa di antara mereka yang tidak bekerja di bidang medis atau tidak bekerja purna waktu.


World Health Organization (WHO) berpendapat bahwa di sebuah negara berkembang, rasio dokter vs 2.000 penduduk sudah memadai. Dalam kasus Indonesia, satu dokter melayani 2500 penduduk.
Secara statistik di atas kertas, jumlah dokter kita termasuk “lumayan”. Inilah bentuk “pembenaran” atas nama statistik. Statistik adalah kumpulan angka yang dapat divisualisasi dalam bentuk diagram ataupun bagan yang menunjukkan situasi faktual tentang suatu kenyataan. Statistik adalah alat bantu untuk menelaah “kebenaran” untuk memecahkan persoalan yang sedang kita hadapi. 


Tapi statistik tak boleh dipakai sebagai alat “pembenaran”. 
Walaupun WHO berpendapat 105.000 dokter tergolong lumayan untuk melayani penduduk Indonesia yang berjumlah hampir 260 juta jiwa, apakah “kebenaran” numerik ini benar-benar berkorelasi langsung dengan meningkatnya status kesehatan masyarakat kita?


Sayangnya, tidak. Indonesia Sehat yang kita canangkan tercapai pada 2010 ternyata tidak menjadi kenyataan. Millenium Development Goals (MDGs) atau tujuan pembangunan global yang digagas PBB dan disepakati bersama 185 negara lain, telah lewat masa berakhirnya yaitu tahun 2015.
Sasaran-sasaran (goals) perbaikan dalam bidang kesehatan yang ingin kita capai ternyata belum bisa kita raih. Sebaliknya, beberapa bidang seperti angka Kematian Ibu Melahirkan bahkan menjauhi target. Sejak 2015, Indonesia juga naik peringkat menjadi negara nomor 2 penyumbang terbanyak pasien TBC dunia bersama Republik Rakyat Tiongkok, setelah India yang merupakan negara dengan jumlah penderita TBC terbesar di dunia. 


Salah jika ada anggapan bahwa setiap tahun ada 440.000 penderita TBC baru. Berdasarkan hitungan WHO, ternyata ada kira-kira sejuta orang Indonesia terinfeksi mycobacterium tuberculosae baru tiap tahunnya, jumlah yang tidak sedikit. Bayangkan, kita berbagi peringkat pada posisi kedua terbesar di dunia bersama RRT yang berpopulasi 1,4 miliar jiwa.

Bersambung ke bagian 2 >