10 April 2017

Problematika Kesehatan Indonesia dan Kontribusi Rumah Sakit Apung (Bagian 2 – Tamat)

Share

< Lanjutan dari bagian 1

Beban Ganda Pemerintah

Fakta-fakta yang telah saya sebutkan pada bagian sebelumnya menyebabkan beban yang ditanggung pemerintah menjadi lebih berat. Inilah beban ganda yang harus dipikul oleh pemerintah. 


Di satu pihak, penyakit infeksi seperti TBC, lepra/kusta, dan kekurangan gizi (akut maupun kronis) masih merajalela, khususnya di daerah yang minim infrastruktur. Di pihak lain, kita juga menghadapi penyakit-penyakit akibat pertumbuhan ekonomi, gaya hidup metropolitan, serta meningkatnya usia harapan hidup yang lebih panjang di daerah-daerah perkotaan seperti obesitas, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, keganasan, dan sebagainya.


Ketimpangan pembangunan, baik fisik maupun manusia, berpengaruh terhadap pola penyakit di suatu daerah dan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah tersebut. 


Paparan ini menggiring kita untuk merenungkan kembali apakah tenaga kesehatan yang ada (terutama dokter) sudah cukup memadai untuk menyongsong era bonus demografi yang dalam tempo singkat akan dialami Indonesia?


Jika hendak jujur, jawabannya adalah masih jauh panggang dari api. Peta jalan (roadmap) yang disodorkan WHO tampaknya sulit kita gunakan sebagai pedoman baku untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kita. Rasio antara jumlah dokter dengan penduduk tidak dapat kita jadikan satu-satunya patokan untuk menarik kesimpulan bahwa jumlah dokter kita sudah memadai. 


Di negara-negara maju, seorang dokter melayani 200 orang penduduk sementara di Indonesia, seorang dokter harus melayani 2.500 penduduk. Rasio ala WHO ini tak relevan. Mungkin pada 31 Desember 2013 rasio ini masih bisa kita terima. Namun sejak 1 Januari 2014, tatkala BPJS mulai diberlakukan secara nasional, angka-angka kebutuhan akan dokter mutlak dikaji ulang. 


Sebelum berlakunya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), berapa orang Indonesia yang mampu berobat ke dokter? Sampai-sampai ada pameo yang mengatakan bahwa di Indonesia, “orang miskin dilarang sakit.” 


Belum ada formula pasti untuk menakar kebutuhan dokter pasca BPJS. Sebelum BPJS, kita asumsikan saja ada 20% orang Indonesia yang mampu berobat ke dokter. Artinya, ada 50 juta dari 250 juta penduduk yang potensial menjadi pasien dan membutuhkan pertolongan dokter. 
Pasca BPJS, seluruh penduduk Indonesia berhak mendapat layanan medis yang sama di seantaro kepulauan. Jumlah pasien potensial pun naik drastis dari 50 juta orang menjadi 250 juta orang. Hal ini terlihat nyata dari lonjakan jumlah pasien yang datang berobat ke Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). 


Walaupun Pemda DKI Jakarta menambah daya tampung RSUD dan banyak Puskesmas ditingkatkan fungsinya menjadi Puskesmas Rawat Inap, misalnya, tsunami pasien yang butuh pertolongan masih belum teratasi. Di daerah, situasinya lebih menyedihkan. Alih-alih ada pasokan dokter baru, mereka yang sudah berbakti 1 – 2 tahun justru hengkang dari periferi menuju daerah yang lebih menjanjikan.


Walaupun sudah ada Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur bahwa tiap dokter spesialis yang baru lulus wajib berbakti di daerah selama setahun, tidak dapat menjadi solusi final. Jumlah dokter, termasuk dokter spesialis, jauh dari mencukupi.


Alternatif Layanan Kesehatan Berkarakter Nusantara

Berdasarkan perkembangan yang terjadi – terutamanya pasca berlakunya BPJS, saya melihat bahwa Indonesia tak lagi dapat menjadikan rumusan WHO (1 dokter melayani 2000 penduduk di negara berkembang) sebagai patokan mutlak. Karakter Indonesia dan persoalan-persoalan yang dihadapi sungguh unik dan berbeda dengan negara-negara lain. 
Pertama, negara kita terdiri dari 17.500 pulau dan hampir dua per tiga bagiannya merupakan laut. Oleh karenanya, laut harusnya dapat kita manfaatkan secara optimal, bukan justru dianggap sebagai penghambat. 
Kedua, distribusi penduduk Indonesia tidak merata. Sebagai contoh, jumlah penduduk yang bermukim di Jakarta Pusat mencapai 20.000 jiwa per kilometer persegi.  Bandingkan dnegan jumlah penduduk di daerah pedalaman Papua seperti Distrik Mappi yang jumlah penduduknya hanya 2 – 4 jiwa per kilometer persegi. Belum lagi tingkat kesejahteraan yang timpang antara barat dan timur.


Kita pun perlu ingat bahwa poin terpenting yang sedang dilakukan oleh negara kita adalah melaksanakan tuntutan Undang-Undang Dasar (UUD) Pasal 28 Huruf H yang mengatakan bahwa “setiap WNI berhak atas kehidupan dan kesehatan yang layak”. 


Akhir-akhir ini, kita juga membaca pemberitaan surat kabar bahwa pendirian sekolah kedokteran akan dimoratorium dengan alasan:1 Jumlah dokter kita sudah memadai2 Mutu dokter lulusan Fakultas Kedokteran kita rendah.


Dalam hal moratorium ini, saya punya pendapat yang berbeda. Dari pembicaraan dengan seorang kolega di Jerman selama kurang lebih dua minggu, orang Jerman beranggapan bahwa jumlah dokter lulusan baru mereka yang mencapai 15.000 dokter, masih kurang untuk 83 juta penduduknya. Saya tidak ingin terlalu menanggapi kebenaran mengenai hal tersebut. Tapi faktanya, sampai hari ini Jerman memang masih mengimpor dokter-dokter dari luar negeri. 


Output Fakultas Kedokteran kita secara nasional kira-kira mencapai 7.000 – 8.000 dokter baru per tahun. Artinya, Indonesia memang dituntut untuk menghasilkan lebih banyak dokter apalagi di daerah-daerah yang penduduknya jarang seperti pulau-pulau terpencil di hutan-hutan dan gunung-gunung. Sesuai amanat UUD, Indonesia harus aktif memberi pelayanan pada seluruh warganya, sesuai dengan hak konstitusi mereka. 
Untuk mengatasi dilemma yang dihadapi saat ini, kami dari doctorSHARE (Yayasan Dokter Peduli) merasa bersyukur telah mengembangkan sebuah sistem “jemput bola” dengan membuat Rumah Sakit Apung yang terbukti efektif membantu pemerintah mengentaskan kebutuhan pelayanan medis di daerah-daerah terpencil, terutama di wilayah yang kepadatan penduduknya masih sangat rendah.


Saat ini, sudah ada dua buah Rumah Sakit Apung yang berlayar ke seluruh nusantara yaitu RSA dr. Lie Dharmawan dan RSA Nusa Waluya I. Kini kami sedang mempersiapkan RSA ketiga yaitu RSA Nusa Waluya II yang tengah dalam masa pembangunan dan tahun ini diperkirakan siap untuk menjalankan fungsinya memberikan pelayanan kepada mereka yang membutuhkan.

TAMAT