5 September 2015

Dokter Terbang, Oase di Tanah Papua

Share

Juni 2015. Tak percaya rasanya bahwa saya sedang berada di sebuah negara bernama Indonesia. Usai penerbangan panjang rute Jakarta – Timika, perjalanan bersambung ke ibukota Kabupaten Intan Jaya, Sugapa, dengan sebuah pesawat perintis yang begitu sempit. Sedemikian sempitnya sampai kami berdelapan harus duduk berimpitan sambil menahan rasa pusing sekaligus mabuk.

Landasan sepanjang 600 meter jadi satusatunya jalan aspal di Distrik Sugapa. Sesuai rencana, kami menuju Desa Gagemba untuk melaksanakan pelayanan medis selama beberapa hari di sana – dengan kendaraan ojeg. Butuh waktu hampir dua jam untuk mencapai desa tersebut.

Dua tangan saya berdarah setelah berpegangan erat pada motor yang meliuk menghindari jurang, menembus hutan, menanjak tebing curam berkontur tanah lempung, juga beberapa kali melintasi sungai.

Jelang hari pertama pelayanan medis dalam bentuk pengobatan umum dan bedah minor di Desa Gagemba, seorang pemuka agama dengan suara tercekat menyampaikan pidato singkat bahwa selama 70 tahun Indonesia merdeka, belum pernah sekalipun dokter hadir di sana.

Kami, tim Dokter Terbang dari doctorSHARE (Yayasan Dokter Peduli) yang terdiri dari seorang dokter spesialis, dua dokter umum, seorang perawat, dan dua relawan non medis, adalah tim medis pertama yang datang.

Ketika membantu pendaftaran pasien bedah minor, saya terkejut mendapati banyaknya warga yang tidak ingat tanggal dan tahun lahir, bahkan tidak bisa baca tulis karena tidak pernah sekolah. Penasaran, saya pun bertanya lewat penerjemah lokal mengenai apa yang biasanya mereka lakukan jika sakit. Jawabannya hanya satu: pasrah.

Memang ada puskesmas di Sugapa tapi warga distrik lain harus berjalan kaki selama berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mencapai lokasi, itu pun jika si sakit masih kuat berjalan melalui medan berat. Tak jarang warga meninggal di tengah perjalanan. Kartu sehat menggratiskan biaya berobat warga tapi ketiadaan akses adalah persoalan lainnya yang jauh lebih serius.

Banyak warga meninggal sia-sia karena penyakit yang mungkin “sepele“ bagi warga kota besar yaitu infeksi karena luka kemasukan batu, borok atau tergigit babi. Para mama atau ibu-ibu bahkan sudah biasa menghadapi kematian anak balitanya. Anak tujuh mati dua, anak delapan mati tiga, dan seterusnya, suatu fakta yang benar-benar miris.

Pemandangan miris lainnya adalah anak-anak berperut buncit karena cacingan dan ingus abadi yang terus turun dari kedua lubang hidungnya. Ketika diberikan obat cacing, mereka langsung memindahkannya ke tangan yang kotor berbalut tanah sebelum diminum dengan cara dicedok pelan menggunakan sisi tangan lainnya yang juga berlumur tanah.

Para tokoh masyarakat bercerita soal banyaknya nyawa yang hilang sia-sia akibat terbatasnya akses kesehatan. Masyarakat harus jalan berhari-hari bahkan hingga seminggu untuk mencapai ibukota Sugapa. Tak ada perawat ataupun bidan, apalagi dokter. Mereka percaya bahwa seseorang jatuh sakit akibat tulah atau kutukan setan gunung sehingga si sakit hanya pasrah menunggu ajalnya.

Memperoleh layanan medis di kota besar terdekat yakni Timika dan Nabire adalah sesuatu yang hampir mustahil. Seorang warga harus membayar sekitar tiga juta rupiah sekali jalan, belum termasuk biaya penginapan, makan, dan kebutuhan sehari-hari selama berada di kota.

Kemerdekaan Indonesia selama 70 tahun rupanya tak benar-benar dinikmati sepenuhnya, terutama oleh warga daerah sangat terpencil seperti warga pegunungan tengah Papua. Tak heran jika hadirnya kami membuat mereka begitu bersemangat.

Ketika berlangsung pelayanan medis di Desa Gagemba, seorang kepala suku berkata pada saya bahwa sepanjang sejarah, belum pernah ada beragam suku berkumpul sampai sebanyak ini. Sudah terlalu lama warga Papua merindukan oase ini.