14 November 2015

Mendungnya Hari Kesehatan Nasional 2015

Share

Tanggal baru berganti 38 menit dari 11 November 2015 menjadi 12 November 2015. Saya baru menyelesaikan operasi terakhir dan duduk sendirian di meja tulis di kamar kerja saya. Saya memutuskan tidak pulang ke rumah dan tinggal di rumah sakit karena mengantuk.

 

Saya pun membaca berita-berita dan kemudian terpekur membaca tentang kepergian dr. Dionisius Giri Samudra (dr. Andra) di RSUD Dobo, Kepulauan Aru. Walau beberapa jam sebelumnya saya telah membacanya namun baru sekaranglah saya sempat merenungkannya.

 

Dalam keheningan, saya berdoa agar arwah almarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Dalam keheningan malam pula diri saya dikuasai emosi sentimental membayangkan perasaan orang tua yang telah bersusah payah membesarkan anaknya. Mereka merelakannya pergi ke tempat sangat terpencil guna melayani warga yang membutuhkan pertolongan medis.

 

Kini, dr. Andra telah tiada dalam usianya yang masih sangat muda. Tanpa terasa, air mata saya meleleh. Pikiran saya menerawang. Berapa banyak anak muda dan balita yang harus meninggal karena infrastruktur yang minim di daerah terpencil? Berapa banyak ibu melahirkan yang meninggal sia-sia karena tidak ada pertolongan?

 

Data Renstra Kementerian Kesehatan 2014 – 2019 mencatat bahwa di daerah terpencil, khususnya Indonesia Timur, angka kematian mencapai empat kali lipat dari jumlah kematian di Indonesia barat.

 

Meskipun secara statistik sudah banyak posyandu dan puskesmas yang di atas kertas cukup untuk melayani masyarakat di daerah terpencil, namun tidak demikian halnya dengan kondisi di lapangan. Puskesmas memang ada namun obat tak ada. Ada dokter tapi puskesmas tak ada. Atau ada puskesmas dan dokter tapi obat-obatan tidak ada.

 

Ini adalah persoalan klasik yang kita jumpai sehari-hari di desa-desa terpencil. Belum lagi kemiskinan yang masih merajalela. Ribuan orang mati sia-sia dalam kesenyapan dan kesedihan orang-orang terdekat. Kepergian mereka tak pernah diberitakan, entah karena sudah biasa atau karena mereka bukan siapa-siapa.

 

Di daerah pegunungan tengah Papua, bahkan ada daerah-daerah yang sejak kemerdekaan Indonesia belum pernah tersentuh tenaga dokter. Tim dokter dari doctorSHARE adalah yang pertama kali datang. Jika ada yang sakit, mereka sepertinya mudah divonis mati dan kambing hitamnya adalah hantu rimba.

 

Ibu-ibu melahirkan banyak anak (bahkan hingga belasan) namun sangat banyak anak yang tidak bertahan hidup. Bagi mereka yang tinggal di pegunungan, mencari tempat pelayanan medis primer seperti puskesmas berarti harus berjalan kaki turun naik gunung selama berjam-jam atau berhari-hari. Bayangkan jika ini harus dilakukan dalam keadaan sakit.

 

Lebih menyakitkan lagi, setelah perjuangan berat ini dilakukan mereka menjumpai kenyataan seperti yang telah saya tulis: ada puskesmas namun tak ada dokter atau ada puskesmas dan dokter namun tak ada obat.

 

Persoalan klasik lainnya adalah kemiskinan dan jeleknya sarana transportasi. Tak heran harga semua barang di Indonesia timur jauh lebih mahal daripada Pulau Jawa. Ambillah contoh satu sak semen seberat 60 kilogram. Di Jakarta, harganya sekitar Rp 70.000.

 

Untuk transportasi lewat udara (satu-satunya cara yang bisa dilakukan) dari Nabire ke Sugapa, misalnya, ongkos kirimnya adalah Rp 30.000 per kilogram. Tak heran harga semen di sana mencapai Rp 2,5 juta per sak.

 

Apa daya seorang yang sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit yang hanya ada di kota-kota besar? Jangankan biaya berobat di RS, biaya transportasi pun mereka tak punya.

 

Kembali ke kasus dr. Andra, dengan gaji Rp 2,5 juta per bulan rasanya berat baginya untuk terbang ke Tual di Pulau Kei Kecil. Berdasarkan penjelasan resmi Pemprov Maluku, pemerintah sudah mengupayakan evakuasi dr. Andra lewat jalur udara namun tak ada penerbangan.

 

Kendala infrastruktur ini baru diketahui masyarakat luas karena yang meninggal adalah seorang dokter yang masih sangat muda. Tapi kalau boleh jujur, sudah berapa banyak nyawa melayang sia-sia dalam kesenyapan karena tak mendapat perhatian dari pihak berwenang?

 

Rasa kantuk saya tak tertahan lagi. Saya seka air mata dan berjalan gontai menuju kamar tempat saya biasa menginap. Tekad saya untuk membantu mereka yang hidup di daerah terpencil menjadi semakin kuat.

 

Pikiran tentang dr. Andra dan dokter-dokter internship lainnya masih mendominasi pembicaraan kami di tempat kerja. Bagaimana status mereka? Ada yang berkata bahwa sebagai dokter internship, mereka masih belum boleh dibebani tugas sebagai dokter dan berada di bawah Kemenristek Dikti, bukan Kementerian Kesehatan.

 

Bagaimana status hukum mereka jika sebuah kejadian tak diinginkan menimpa mereka?
Siapa yang harus bertanggung jawab?
Siapa mentor mereka?

 

Ini adalah beberapa persoalan praktis yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Seharusnya pertanyaan-pertanyaan ini didiskusikan terlebih dulu dengan matang sebelum menjadi sebuah kebijakan.