11 Mei 2016

Pelayanan Medis doctorSHARE di Kepulauan Aru, Maluku (27 – 30 April 2016)

Share

Provinsi Maluku kembali menyambut kedatangan tim doctorSHARE dengan Rumah Sakit Apung (RSA) dr. Lie Dharmawan-nya. Setelah Pulau Kei Besar, RSA melayani masyarakat Kecamatan Aru Utara selama empat hari yakni 27 – 30 April 2016. Berpusat di Desa Marlasi, pasien dari 11 desa lainnya memanfaatkan jalur transportasi laut untuk mendapatkan pelayanan medis tim doctorSHARE di sana.

 

Meskipun sempat tertunda sehari karena hambatan perjalanan, sambutan warga setempat tak surut mengingat tak seorang pun dokter terdaftar sebagai tenaga medis di satu-satunya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Aru Utara. Tercatat, hanya ada 11 tenaga medis yang terdiri dari bidan dan perawat. Begitu tiba, tim langsung berkoordinasi dengan para stakeholder seperti Kepala Kecamatan Aru Utara serta Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru.

 

“Menurut data yang kami peroleh, ada sekitar 100 pasien mencakup pengobatan umum, bedah minor, dan bedah mayor,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Aru, Y.E.O. Uniplaita, Rabu (27/4).

 

Tanpa banyak membuang waktu, tim doctorSHARE langsung menggelar pengobatan umum dan screening untuk menjaring calon pasien operasi. Jumlahnya jauh melebihi target tim yang awalnya memperkirakan 350 pasien. Pasien pengobatan umum hari itu mencapai 968 orang dengan total 1075 kasus. Dari pagi sampai malam, tim melayani pasien tanpa henti. Berdasarkan data, kasus terbanyak adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan jumlah 418 pasien.

 

Menurut pengakuan John W. Utukaman selaku Kepala Kecamatan Aru Utara, warga setempat masih sering terbentur oleh rasa malas. Sebagai daerah kepulauan, akses menuju tempat pelayanan medis hanya lewat laut menggunakan speedboat atau sejenisnya. Mengetahui sedikitnya jumlah pasien yang terdata Dinas Kesehatan, ia dibantu dengan beberapa orang lainnya melakukan aksi “jemput bola”. Akibatnya, jumlah pasien pun membludak.

 

“Strateginya harus persuasif dan personal misalnya dijemput pakai speedboat atau perahu sejenis, baru mereka mau. Kalau tidak, ngikutin rasa malas saja,” katanya kepada tim doctorSHARE (27/4).

 

Hasil screening menunjukkan 31 orang tercatat sebagai calon pasien bedah minor dan 15 pasien bedah mayor. Ketika itu, beberapa kali tim bedah minor menolak calon pasien sirkumsisi atau khitan perempuan dengan beberapa pertimbangan dan kesepakatan seluruh anggota tim. Operasi dilaksanakan pada hari kedua hingga keempat pelayanan medis.

 

Meski beberapa kali hujan turun, hingga hari terakhir jumlah pasien bedah yang telah ditangani tim doctorSHARE juga lebih banyak dari hasil catatan screening. Selama tiga hari, tim bedah minor dengan koordinator dr. Rocky Tumbelaka melayani 44 pasien. Hampir 60 persennya adalah tindakan sirkumsisi sedangkan kasus lainnya antara lain lipoma dan kista ateroma.

 

“Hari ketiga sekaligus hari terakhir operasi di Marlasi hanya terjadwal seorang. Tapi masih terbuka untuk pasien tambahan. Ternyata jumlahnya sampai 14 orang,” tutur dr. Rocky (1/5).

 

Penambahan jumlah pasien selama rangkaian pelaksanaan operasi tak terjadi pada bedah mayor. Dari 15 calon pasien, dr. Vinisia Giovanni sebagai koordinator bedah mayor melaporkan hanya 11 kasus yang ditangani. Penyebabnya, beberapa calon pasien tidak datang tanpa alasan ataupun batal karena tak dapat izin anggota keluarga. Mayoritas kasus pasien bedah mayor ini adalah hernia inguinalis lateralis alias turun berok. Kasus lain misalnya adalah kontraktur manus dan tubektomi.

 

Koordinator Lapangan Pelayanan Medis Kepulauan Aru, dr. Ivan Christmas, menyampaikan terima kasih atas perhatian seluruh masyarakat dan kerjasama baik dari tim, pejabat setempat, maupun seluruh pihak yang terlibat. Menurutnya, keterbatasan fasilitas bukan alasan mati langkah dalam niat. Salah satunya, saat akan evakuasi pasien pasca operasi.

 

Selama pelayanan medis, 10 warga setempat beralih profesi menjadi “ambulans” mengingat tak ada satupun kendaraan bermotor beroperasi di darat. Tak main-main, “ambulans” tenaga manusia tersebut harus menggotong pasien pasca operasi dengan jarak sekitar dua kilometer berjalan kaki dari Dermaga Marlasi ke Pelayanan Obstetri Neonatus Essensial Dasar (PONED).

 

Salah seorang pasien dari Desa Kaibolafin, Salim Wamona, mengatakan bahwa kegiatan semacam ini sangat membantu masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. “Tambah lagi, semuanya tanpa biaya sedikit pun. Semoga dokter-dokter bisa datang lagi ke sini,” tuturnya (29/4). Rumah Sakit terdekat ada di Dobo yang memerlukan waktu dua hingga tiga jam perjalanan dengan speedboat sementara tak ada seorang pun dokter di Puskesmas Marlasi.