25 Juli 2016

Sekarang “Pepayanya” Telah Hilang

Share

Deretan pohon palem, tepat sejajar dalam jarak yang sama, daun palem yang rimbun, cabang-cabang yang menjuntai yang mencegah cahaya matahari menyinari langsung ke tanah perkebunan. Hampir tidak ada bisikan angin, hampir tidak ada suara gemerincing ranting-ranting pohon palem yang menjuntai. Keheningan perkebunan berakhir tiba-tiba ketika para petani datang untuk memanen buah sawit.

Ada berbagai manfaat dan insentif ekonomi yang mendorong petani di Indonesia untuk membuka perkebunan kelapa sawit. Sebagai pulau terbesar di Indonesia, Kalimantan (Borneo) menjadi sasaran empuk bagi pengusaha perkebunan kelapa sawit. Lokasi Kalimantan yang berada tepat di garis khatulistiwa, tanahnya yang subur, dan iklim tropisnya memudahkan pertumbuhan kelapa sawit. Salah satu perkebunan besar terletak di Kecamatan Belimbing, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat.

Pesatnya pertumbuhan bisnis kelapa sawit dan keuntungan yang dijanjikannya mendorong masyarakat setempat untuk membuka perkebunan. Tidak sedikit penduduk Belimbing yang menggantungkan hidupnya dari keuntungan bisnis kelapa sawit: Para pemangku kepentingan, para pengecer benih, para broker, para pekerja yang merawat pohon dan memanen hasil panen, supir truk, dll. Salah satu pekerja perkebunan kelapa sawit Belimbing adalah Kanta. Banyak perempuan kelahiran Melawi yang bekerja sebagai pemanen sawit.

Bekerja dari pagi hingga sore hari, Kanta harus memikul setidaknya lima kilogram tandan sawit di pundaknya secara teratur. Buah sawit dibawa dari perkebunan ke pinggir jalan agar mudah diambil oleh truk. Kanta yang merupakan ibu dari enam orang anak ini memutuskan untuk bekerja demi menopang ekonomi keluarganya. Meskipun pekerjaannya melelahkan, ia tidak menyesali keputusannya karena gajinya memungkinkan keluarganya untuk menabung. Sayangnya pada tahun 2005, sebuah tragedi terjadi yang memaksanya untuk berhenti bekerja.

“Ketika putri bungsu saya hamil di bulan ketujuh, saya tetap bekerja. Ketika menyeberangi jembatan kayu, tiba-tiba jembatan itu runtuh. Saya terjatuh. Sebuah telapak tangan hampir menimpa tubuh saya. Syukurlah itu tidak terjadi. Kalau itu terjadi, saya pasti sudah mati,” kata Kanta.

Kanta menjelaskan bahwa ia hampir terjun ke selokan di perkebunan. Dengan tenaga terakhirnya, ia menggunakan kedua lengannya untuk berpegangan pada tanah agar tidak jatuh ke dalam lubang. Para pekerja lain dengan cepat membantu Kanta untuk melarikan diri dari situasi ini. Dia bisa diselamatkan dari jatuh, tetapi merasakan sakit yang semakin meningkat di ketiaknya. Bagian itu mulai memar dan bengkak dan dia memutuskan untuk tidak masuk kerja untuk sementara waktu.

Ketika bengkak di ketiak kanannya mulai terasa sangat menyakitkan, Kanta pergi ke Pusat Kesehatan Masyarakat setempat. Rasa sakitnya perlahan-lahan hilang setelah menjalani perawatan, tetapi beberapa benjolan kecil yang bengkak tetap ada. Meskipun ia tidak merasa sakit, pembengkakan itu terus bertambah dari tahun ke tahun. Memikirkan situasinya yang benar-benar biasa-biasa saja, dengan mempertimbangkan situasi keuangan keluarga dan juga kondisi suaminya, yang sering sakit, Kanta memutuskan untuk tidak melakukan pengobatan lebih lanjut.

Kanta harus bekerja lagi agar keluarganya bisa mempertahankan stabilitas keuangannya. Namun, dia tidak mau lagi bekerja di perkebunan kelapa sawit. Tubuhnya yang sudah tua dan benjolan di ketiaknya tidak memungkinkannya untuk bekerja keras. Kanta menjadi petani getah karet di perkebunan kerabatnya. Benjolannya yang sudah membesar sebesar pepaya tidak membuatnya berhenti bekerja. Dalam benaknya, satu-satunya hal yang penting adalah anaknya bisa terus makan dan bersekolah.

Lebih dari satu dekade setelah kecelakaan itu, situasi Kanta semakin memburuk. Lebih banyak benjolan, tumbuh seperti pepaya, menyebabkan rasa sakit dan mengganggu kemampuannya untuk bergerak. Keluarga dan tetangganya memaksanya untuk mengunjungi pusat kesehatan lagi. Kanta takut, bukan karena benjolan atau pengobatannya, tetapi karena biaya pengobatannya. Pastinya, dokter dari Puskesmas akan menyarankan operasi yang mahal di Pontianak atau Jakarta.

“Saya tidak punya uang untuk berobat. Saya tidak punya apa-apa yang bisa dijual untuk membayar pengobatan. Bahkan untuk membayar makan sehari-hari saja sulit, bagaimana saya harus membayar biaya perjalanan dan biaya operasi? Saya pikir itu tidak mungkin…” kata Kanta.

Ibu berusia 42 tahun itu menyampaikan kekhawatirannya terkait biaya operasi kepada dokter puskesmas. Menurut Kanta, dokter menanyakan apakah ia siap melakukan operasi jika ada yang bersedia menanggung semua biaya. Kanta segera mengatakan bahwa dia siap untuk operasi dan pemulihannya. Pembengkakan di ketiaknya kemudian difoto oleh dokter, yang kemudian memberikan foto tersebut untuk ditampilkan di media massa Kalimantan Barat.

Informasi tentang kondisinya yang serius segera tersebar. Banyak orang yang ingin membantunya, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Kasus Kanta juga diketahui oleh doctorSHARE di Jakarta. DoctorSHARE segera bergerak mencari donatur untuk membiayai biaya operasi Kanta di Jakarta. WIC (Women International Committee) pun bersedia untuk menyumbang. Selanjutnya, doctorSHARE menjemput Kanta dari Melawi. Salah satu anggota tim adalah Siska, A.Md. Kep. Siska mengatakan, ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah Kanta dan anak-anaknya saat bertemu dengan mereka.

“Terlihat jelas bahwa Kanta dan anak-anaknya sangat senang melihat saya. Mereka sangat berterima kasih dan tidak menyangka doctorSHARE akan datang membantu mereka,” kenang Siska.

Tim doctorSHARE langsung membawa Kanta ke Jakarta dengan pesawat. Selama di Jakarta, Kanta mengaku mendapatkan perawatan terbaik dan tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun. Operasi Kanta ditetapkan pada 19 April 2016 di Rumah Sakit Husada. Operasi ditangani langsung oleh pendiri doctorSHARE, dr Lie A. Darmawan, PhD, FICS, Spb, SpBTKV.

“Diduga mammae aberans atau “payudara tambahan” di bawah ketiak kanannya sebesar pepaya. Dia bekerja sebagai petani karet. Tentu saja itu mengganggu. Beratnya sekitar 3 kilogram, mungkin lebih,” kata Dr.

Menurut dr Lie, banyak orang yang ingin membantu Kanta. Ada yang mau menanggung biaya operasi, ada yang mau menanggung biaya perjalanan, ada juga yang mau menanggung biaya akomodasi di Jakarta. Operasi berjalan lancar tanpa gangguan dan “pepaya” di bawah lengannya bisa diangkat. Lie mengatakan bahwa Kanta akan dapat bekerja sebagai petani getah karet lagi dan melanjutkan hidupnya bersama anak-anaknya.

Setelah operasi, Kanta merasa senang dan sangat bersyukur. Masih ada orang yang peduli dan bersedia membantu. Kebahagiaan juga terpancar dari wajah anak-anaknya. Kini mereka bisa melihatnya beraktivitas dengan bahagia dan tanpa masalah. Setelah sembuh total, rencana Kanta adalah terus bekerja untuk menghidupi keluarganya.

 

Ditulis oleh: Panji Arief Sumirat
Diterjemahkan oleh: Albert Stanley Michelim X.A.
Disunting oleh: Jendrik Silomon