4 Agustus 2016

Elisabeth: “Mereka Mengatakan Bahwa Perut Saya Besar”

Share

Elisabeth Resbal (13 tahun) menjawab dengan lembut ketika ia mengungkapkan alasannya untuk tidak bersekolah lagi: “Ketika kami bermain bersama, mereka mengatakan bahwa perut saya besar. Memalukan bagi saya memiliki perut sebesar itu.” Karena tidak tahan lagi dengan ejekan tanpa henti dari teman-teman sekolahnya, Elisabeth akhirnya menyerah. Dia lebih memilih tinggal di rumah bersama ibu dan saudara-saudaranya daripada melanjutkan sekolah.

Sama seperti Eltina, Elisabeth lahir di Pulau Kei, Maluku Tenggara. Perut Elisabeth mulai kembung ketika dia berusia 13 tahun. Semuanya berawal dari demam dan yang mengejutkan semua orang, perutnya tidak berhenti kembung tetapi terus menjadi semakin besar.

Ibu Elisabeth menduga putrinya menderita cacingan. Dia mulai memberikan vermisida secara terus menerus tetapi tidak ada yang terjadi. Tubuh Elisabeth tidak dapat pulih dan dia menjadi korban bullying yang terus menerus dari teman-teman sekolahnya yang akhirnya meyakinkannya untuk berhenti belajar.

Setelah mengambil keputusan ini, Elisabeth hanya bermain di rumah sambil merawat saudara-saudaranya. “Bermain masak-masakan, lompat-lompat…,” katanya lirih. Ketika ditanya apakah dia sudah menjadi koki yang baik, Elisabeth menggelengkan kepala sambil tersenyum malu-malu.

Sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, Elisabeth harus menjaga adik-adiknya. Adik bungsunya saat ini sedang mencoba belajar berjalan dan selalu ingin dibantu oleh Elisabeth. Orang tua mereka tidak bisa tinggal di rumah sepanjang hari karena mereka harus mencari uang untuk menghidupi keluarga. Mereka bekerja di sebuah ladang di lereng gunung di dekatnya. Di usianya yang masih muda, Elisabeth telah diberi tanggung jawab yang sangat besar untuk adik-adiknya.

“Setiap hari, ayah mereka pergi ke ladang. Saya juga harus pergi ke sana pagi-pagi sekali untuk membersihkan, memberi makan anak-anak petani, dan mencari kayu bakar. Di malam hari, saya harus mengambil air dari sumur untuk menyiapkan mandi anak-anak saya, memasak, dan mencuci pakaian kami,” kata ibu Elisabeth. Ia mengungkapkan bahwa hasil panen dari kebun hanya cukup untuk memberi makan keluarga dan hampir tidak ada yang tersisa untuk dijual.

Ketika tim doctorSHARE mengunjungi rumah Elisabeth, terlihat jelas bahwa keluarga ini hidup dalam keadaan yang sangat sederhana. Tempat tidur mereka terbuat dari bambu tanpa alas tidur, apalagi kasur. Juga tidak ada kamar mandi yang tersedia. Keluarga Elisabeth hidup dalam kondisi yang sederhana seperti ratusan keluarga lain di Pulau Kei.

Terlepas dari kekecewaannya akibat bullying, Elisabeth sangat ingin melanjutkan sekolah. Untuk mendukung keinginannya, orang tuanya berusaha keras mencari pengobatan untuk menyembuhkan penyakit Elisabeth. Dengan susah payah mereka membawanya ke dokter di Tual. Sayangnya, dokter tidak dapat memberikan bantuan karena kurangnya peralatan medis untuk mendiagnosa penyakitnya. Dokter menyarankan keluarga untuk mengirim Elisabeth ke Makassar, tetapi hal ini tampaknya mustahil untuk dilakukan karena jaraknya lebih dari 1000 km dan biaya perjalanannya jauh melebihi kemampuan keuangan keluarga.

Harapan baru muncul bagi Elisabeth dan keluarganya ketika tim doctorSHARE mulai memberikan pelayanan medis gratis di Pulau Kei pada Agustus 2015. Setelah kebaktian Minggu, orang tua Elisabeth mendapatkan informasi penting ini dari pendeta. Sehari setelahnya, mereka bergegas membawa Elisabeth dengan menggunakan motor taksi ke Pelabuhan Elat, lokasi di mana Rumah Sakit Apung (RSA) “Dr. Lie Dharmawan” berlabuh.

“Hari itu, ayahnya menemani Elisabeth naik ke Rumah Sakit Apung untuk memeriksakan dan mengobati perutnya. Saya tidak dapat bergabung dengan mereka karena laut yang deras. Saya hanya melihat mereka dari pelabuhan sambil menggendong bayi saya, adik Elisabeth,” kenang ibunya.

Dokter yang memeriksa menduga Elisabeth menderita tumor yang terletak di perutnya. Hampir mustahil untuk mengobati kasus ini tanpa rujukan ke Makassar atau kota besar lainnya. Waktu terus berjalan dan sudah waktunya untuk melakukan operasi, mengingat Elisabeth masih bisa berjalan dan bernafas. Jika perutnya terus membengkak, akan berisiko tinggi baginya untuk tidak dapat bernapas karena tumor menekan paru-parunya.

Memahami keadaan yang mendesak ini, tim doctorSHARE segera menghubungi donor untuk membantu biaya operasi dan perjalanan Elisabeth. Diputuskan untuk memindahkan Elisabeth ke Jakarta dan merupakan berkah yang nyata bahwa Women International Committee (“WIC”) bersedia menyumbangkan dana yang cukup untuk melaksanakan rencana ini.

Pada bulan Maret 2016, Elisabeth dan ibunya melakukan perjalanan 5 hari dengan kapal dari Tual ke Jakarta. Dengan harapan dapat berobat dan sembuh dari penderitaannya, Elisabeth dan juga ibunya merasa hampir tidak ada rasa lelah dalam perjalanan panjang tersebut. Tepat setelah kedatangannya di Jakarta, Elisabeth menjalani pemeriksaan pra-bedah (termasuk CT scan, pemeriksaan laboratorium, dll).

Operasi Elisabeth berjalan lancar. Lie Dharmawan, pendiri doctorSHARE, sebagai dokter bedah. “Diagnosisnya adalah limf-hemangioma, terletak di rongga intra-retro peritoneal,” jelas Dr. Masa depan Elisabeth kini menjadi secerah berlian. Dia sekarang bisa tersenyum lebar di wajahnya dan melanjutkan studinya tanpa rasa khawatir.

 

Ditulis oleh: Sylvie Tanaga
Diterjemahkan oleh: Maria Yuly Indarto
Diedit oleh: Jendrik Silomon