8 September 2016

Tarada Lagi Silet di Atas Kulup

Share

Kini, anak-anak lelaki tak perlu lagi mengalami proses menyakitkan dan perih ketika disunat.

Kakak-beradik Husain (12 tahun) dan Irpan (9 tahun) cengengesan ketika ditanya pengalaman mereka disunat oleh dokter relawan doctorSHARE di atas Rumah Sakit Apung (RSA) dr. Lie Dharmawan. Sambil malu-malu, Irpan bercerita.

Senin, 22 Agustus 2016 pagi, tekad mereka sudah bulat. Mereka siap disunat. Hari itu, mereka ijin untuk tak berangkat sekolah. Sehari sebelumnya mereka mendengar dari kawan-kawan sebaya mereka bahwa disunat dokter itu tak sakit, tak bakalan seperti disunat oleh tukang sunat kampung. Ada banyak kawan mereka yang mendaftar sunat juga.

Ditemani sang ayah, Husain dan Irpan keluar rumah dengan mengenakan peci dan sarung.

Mereka tersenyum simpul ketika perahu membawa mereka ke RSA dr. Lie Dharmawan di lepas pantai. Begitu masuk ruang operasi dan diminta tiduran di atas ranjang, kata Irpan, tak ada kekhawatiran. Itu karena dokter memintanya untuk bernyanyi. Diminta begitu, hatinya sedikit gembira. Ia menyanyikan sebuah lagu Maluku, yang tak dia hafal judulnya.

“Belum juga habis menyanyi, dokter sudah kasih selesai (sunatnya),” kata Irpan, “seng terasa, seng sakit.”

Selesai disunat, Husain dan Irpan bisa langsung berjalan ke rumahnya. Sehari kemudian, mereka sudah leluasa mengenakan celana dan bermain. “Begitu ceritanya,” jelas Irpan.

Irpan masih cengar-cengir ketika mengakhiri kisahnya. Deretan gigi putih terlihat sempurna. Mereka berdua lalu tertawa. Beruntung, kali ini Husain bisa tertawa lebar. Pengalaman ini sangat berbeda saat ia masih duduk di kelas 3 SD (sekitar 7-8 tahun). Kala itu, Husain disunat untuk pertama kalinya oleh tukang sunat kampung.

Sebagaimana penduduk desa-desa Maluku penganut agama Islam, bagi warga Desa Tahalupu sunat merupakan kewajiban. Tak seorang pun anak lelaki muslim yang tak disunat. Namun akibat minimnya tenaga medis, sunat di sejumlah desa – termasuk Tahalupu – masih menggunakan teknik tradisional tanpa bius dan menggunakan silet untuk memotong kulup.

Caranya pun tak berubah sejak dulu. Seorang anak yang sudah siap disunat, dipangku bapaknya yang duduk di atas kursi. Lalu, dekat telapak kaki sang bapak sudah tersedia mangkuk kosong dan telur ayam yang sudah dipecah sepertiganya. Telur itu hanya berisi kuningnya saja yang sudah dikoyak.

Begitu pula Husain ketika mau disunat untuk pertama kalinya. Saat itu, dia memang ingin disunat. Namun begitu dipangku ayahnya, dia mulai ketakutan. Dia mengamuk. Ayah dan keluarganya terpaksa memegangi tangan dan kaki Husain.

Sang ayah mencoba menenangkannya, tapi sia-sia. Saat itu, tukang sunat bersila di hadapan mereka, sudah bersiap dengan capitnya. Capit itu terbuat dari bambu dan dibelah dua. Ritual sunat pun tak mungkin dimundurkan. Pesta dan doa-doa sudah diucapkan.

Mengabaikan rontaan dan berontakan Husain, tukang sunat menarik kulup Husain. Kulup itu lalu dicapit. Begitu capit itu sudah menjepit kulupnya, tukang sunat memasang pengikatnya di bagian atas yang berupa cincin dari rotan. Capit itu mengepit kulupnya sedemikian rupa sehingga terjadi kram. Setelah kram, tukang sunat mengeluarkan alat pemotongnya: silet.

Silet itu sudah disterilisasi terlebih dahulu dengan direndam di air panas sebelum digunakan. Tukang sunat pun memotong kulup bagian depan capitnya. Mestinya kulup Husain habis saat itu. Tapi karena dia meronta dengan keras, tukang sunat hanya memotong kulupnya sedikit.

“Sebagai syarat saja. Sunat kampung,” kata ayah Husain, Amirudin Umagap (49 tahun), “biasanya kalau doa-doa sudah dipanjatkan, seng melihat anak itu berontak atau seng, tukang sunat pasti kasih habis itu kulup,” kata Amir.

Selesai kulup dipotong, biasanya darah mengalir dari penis. Begitu darah keluar, mangkuk yang berada di bawah sudah siap menampung darah. Saat itulah penis dicelupkan ke kuning telur.

Beruntung saat itu darah Husain tak mengalir lagi begitu diademkan kuning telur. Biasanya, jika darah mengucur banyak maka pihak keluarga mengundang satu orang pintar untuk mendoakan agar darah itu berhenti dengan cara meludahi penis yang baru saja disunat.

Namun jika satu orang pintar tak mempan, pihak keluarga akan minta bantuan orang pintar lainnya. Begitu seterusnya sampai perdarahan berhenti. Darah yang mengalir dari penis bisa bermangkuk-mangkuk.

“Bahkan, pernah ada yang sampai 10 mangkuk,” kata Amir. “Wajah dan badan anak itu sudah tak keruan.” Ketika kecil, Amir disunat bersama dua sepupunya. Salah satu sepupunya mengeluarkan darah sampai 3 mangkuk.

Selesai dengan ritual itu, sang anak yang baru disunat takkan bisa ke mana-mana. Dia akan berada di atas ranjang selama 3-7 hari. Semua kegiatannya dilakukan di atas ranjang, mulai dari makan sampai buang air besar dan kecil.

“Kalau anak sunat, orang tua ikut repot,” kata Amirudin. “Kalau dia mau kencing, ya ditadah pakai tempat. Kalau dia mau buang air besar, ya dia diangkat.”

Agar luka lekas mengering, tukang sunat menyarankan untuk membungkus penis dengan daun pohon kopi atau daun sirih setiap pagi dan sore. Daun itu diluluri minyak kelapa, lalu dihangatkan di atas api kecil. Sebentar saja. Begitu hangat-hangat kuku, daun tersebut dibalutkan ke penis.

Jika ingin lebih mujarab, sebelumnya si anak diminta berendam di pantai. Dengan air laut yang asin, luka bisa segera mengering. Perih? Tentu saja. Namun, itu jalan paling cepat agar luka segera mengering dan anak bisa berkegiatan seperti biasa: bermain atau bersekolah.

Di Desa Tahalupu ini tinggal dua tukang sunat kampung yaitu Dusa Umagap (59 tahun) dan Alwan Umagap (56 tahun). Jika Dusa masih menggunakan teknik sunat kampung, Alwan sudah mengawinkan teknik kampung dan modern.

Alwan dapat melakukannya berkat bantuan anaknya, Arman Umagap (23 tahun), yang bekerja sebagai tenaga kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Desa Tahalupu. Arman mendapatkan pengetahuan dan pengalamannya ketika berkuliah di sebuah Sekolah Tinggi Kesehatan di Ambon.

Dalam menjalankan tugasnya, Alwan masih menggunakan capitannya. Namun kini sebelum dicapit, penis si anak sudah dibius lokal terlebih dahulu. Selain itu, alih-alih menggunakan silet, dia kini menggunakan gunting dan menjahitnya setelah selesai.

Si anak pun berada lebih singkat di ranjang. Dalam 2-3 hari sudah bisa mengenakan celana. Sesuai kepercayaan kampung, sang anak yang baru disunat baru boleh berkeliaran jauh ke luar rumah setelah tiga hari sesudah dimandikan tukang sunat.

Namun, kini Husain dan Irpan tak perlu menunggu lama untuk bisa mengenakan celana atau bermain. Mereka pun tak perlu lagi turun ke pantai agar luka sunat lekas kering. Sehari saja setelah disunat, mereka sudah bisa mengenakan celana dan bermain sambil cengengesan seperti anak-anak lainnya.

Itu karena mereka disunat secara modern oleh dokter relawan doctorSHARE di atas RSA. dr. Lie Dharmawan.

Catatan:
*Tarada: Tidak ada
*Seng: Tidak