17 Desember 2016

Meretas Trauma Pada Anak Pasca Bencana

Share

Anak-anak mengalami trauma pasca gempa di Pidie Jaya, Aceh. Rumah tinggal tempat mereka tumbuh dan berkembang hancur lebur. Begitu juga dengan bangunan sekolah yang rusak berat dan retak-retak. Bagaimana anak-anak melewati trauma fisik dan kejiwaan pasca gempa?

Rabu pagi, pukul 05.00 WIB, 7 Desember 2016, daerah Pidie Jaya bergetar kuat. Serangan gempa yang berlangsung selama lima hingga 15 menit itu langsung merobohkan berbagai bangunan rumah tinggal hingga pertokoan. Sebagian orang sudah bangun dari tidurnya. Namun tidak sedikit yang masih terlelap.

Gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter seketika itu juga membuat warga panik dan ketakutan. Jaringan listrik langsung putus. Warga kalang kabut dalam kegelapan. Akibat gempa, ratusan warga di Pidie Jaya meninggal dunia, sebagian mengalami luka berat dan luka ringan akibat tertimpa robohan bangunan.

“Saat gempa tsunami, rasanya seperti ayunan. Namun, gempa kemarin rasanya seperti kita di atas mobil melewati jalan rusak,” kata Tengku Musafa Hasan Yahya, pemimpin pondok pesantren di Desa Blang Iboih, Pidie Jaya, Aceh. “Gempa ini langsung mengingatkan peristiwa tsunami,” katanya.

Gempa tidak hanya merusak berbagai jenis bangunan. Tapi juga meninggalkan trauma fisik maupun kejiwaan. Salah satunya, ketakutan akut pada anak-anak. Rumah tempat mereka tumbuh dan berkembang rusak berat. Sekolah tempat mereka belajar dan bermain juga roboh dan retak-retak. Anak-anak pun harus beradaptasi dengan lingkungan baru di posko pengungsian.

“Pada siang hari, orang dewasa sudah kembali beraktivitas di kebun. Tapi di malam hari semua berkumpul di posko pengungsian,” kata Tengku Musafa. Menurutnya, anak-anak yang tinggal di posko pengungsian masih khawatir terjadi gempa susulan. Mereka masih takut dengan keadaan pasca gempa. “Ada suara keras mereka langsung bangun dari tidurnya.”

Posko pengungsi bukanlah arena berlibur, bisa jadi justru tak ramah anak. Dalam keadaan darurat, anak-anak harus menerima dan mengalami suasana yang serba tidak pasti. Melewati gempa dan tinggal di posko pengungsi meninggalkan pengalaman dan ingatan buruk. Dalam kondisi seperti itu, anak-anak perlu pendampingan untuk meninggalkan luka trauma akibat gempa.

Hingga saat ini, belum ada konsep rancangan posko pengungsian yang ramah anak sehingga mereka terlindung cukup baik selama dalam keadaan darurat bencana. Posko pengungsian anak-anak hendaknya bisa memberikan rasa nyaman baik untuk tinggal, bermain, asupan gizi, sekaligus sarana belajar tentang sebuah fenomena alam. Peristiwa gempa bisa jadi bagian dari pembelajaran terbaik tentang bagaimana kita menyiapkan diri dari fenomena alam ini.

“Bantuan tidak hanya medis dan logistik saja. Penanganan traumatik pada anak juga sangat penting,” kata relawan medis doctorSHARE untuk Gempa Aceh, dr. Riny Sari Bachtiar, MARS. Tak hanya melayani medis di wilayah terpencil dan terisolir, doctorSHARE juga turun tangan dalam penanganan kebencanaan.

“Anak-anak butuh hiburan selama tinggal di posko pengungsi,” kata Tengku Musafa, warga lokal.

Hiburan bukan berarti anak-anak bisa bermain sesuka hati. Mereka juga seharusnya bisa menikmati proses pembelajaran. Penanganan trauma adalah cara agar mental maupun fisik anak-anak kembali normal. Mereka bisa kembali beraktivitas dalam suasana terbebas dari rasa takut sekaligus siap dan mampu memetik pembelajaran dari perisitiwa yang terjadi.

Penanganan trauma pun membutuhkan tutor yang terlatih dan berpengalaman sehingga kondisi fisik dan mental anak-anak terpantau. Cara penanganan trauma pada anak-anak tentu tak sama dengan orang dewasa. Secara khusus mereka masih dalam tahap proses perkembangan dan pertumbuhan.