3 Januari 2017

Freedom To, Freedom From

Share

Dengan puluhan tahun sejarah Indonesia didominasi dengan pendekatan terpusat dalam politik lokal dan manajemen sumber daya alam, tidak heran jika banyak sumber daya di daerah pinggir Indonesia yang kaya menjadi tertinggal. Ini tidak hanya telah menimbulkan gerakan separatis tetapi juga membuat mereka yang sebenarnya masih ingin bersatu dengan negara kesatuan Republik Indonesia merasa diabaikan dan tidak diinginkan.

Warga di daerah tertinggal yang statusnya legal memang diakui tetapi pada praktiknya pemberlakuan status kewarganegaraan mereka untuk dapat menuntut hak mereka masih sangat terbatas. Seperti halnya orang-orang pribumi yang tinggal di provinsi Papua.

Kita bisa melihat upaya warga Papua dalam memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara Indonesia pun sangat tersiksa. Tidak hanya banyak orang asli Papua yang masih berjuang untuk mengklaim kewarganegaraan sebagaimana didefinisikan dalam istilah negatif (terbebaskan dari) tetapi juga memperjuangkan kewarganegaraan yang dilihat dari perspektif yang positif (kebebasan untuk) tetap masih sangat terbatas.

Papua terkenal dengan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang berkelanjutan dan tak kunjung diselesaikan, sehingga melahirkan banyak pihak yang mengadvokasi kebebasan dari penindasan fisik. Ini merupakan usaha yang tidak boleh dianggap enteng, sebab masalah penindasan terhadap masyarakat adat seperti orang asli Papua terus meluas dan dimulai dari penindasan non-fisik yang tidak langsung terlihat.

Di sinilah praktik kewarganegaraan dalam menuntut hak akan kebebasan untuk mendapatkan kesempatan seperti yang dinikmati sebagian besar warga negara Indonesia yang tinggal di bagian barat harus dilihat dan dipahami lebih dalam. Sehingga dapat dipahami lebih menyeluruh mengenai penindasan yang terjadi di tanah Papua.

Kebebasan untuk mendapatkan kesempatan dan memahami manfaat dari kesempatan tersebut untuk kesejahteraan mereka sendiri bergantung pada sejumlah kebutuhan dasar manusia, dan tanpa harus mengelaborasi lebih dalam, harus dipahami bahwa itu semua adalah hak, seperti halnya hak atas pendidikan dan kesehatan. Semua ini masih terbatas baik di provinsi Papua Barat dan terlebih lagi di Provinsi Papua.

Berdasarkan data statistik tahun 2015 dari Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah siswa di provinsi Papua Barat yang bersekolah di usia 16-18 tahun sebanyak 61% sampai dengan 80%. Sementara sebuah survei kesehatan yang diambil tahun 2013 menunjukkan adanya 391 klinik di Provinsi Papua dan 143 klinik di Papua Barat. Selain itu, 16 rumah sakit telah tercatat di Papua Barat dan 33 rumah sakit saat ini sudah berdiri di Provinsi Papua.

Semua ini adalah statistik kuantitatif, namun masih kurang mendukung secara kualitatif yang dapat memberikan pengukuran yang lebih menyeluruh terhadap kondisi yang dihadapi oleh orang-orang Papua. Sebuah pengukuran yang menyeluruh menunjukkan sifat keseluruhan dari masalah yang harus ditangani kembali secara komprehensif.

Salah satu anekdot yang dikumpulkan baru-baru ini pada Oktober 2016 dari perjalanan doctorSHARE ke sebuah desa kecil bernama Hitadipa, yang terletak di Kabupaten Intan Jaya menunjukkan bahwa klinik lokal memiliki keterbatasan dalam merawat beberapa penyakit karena kurangnya obat-obatan dan dokter di desa tersebut.

Beberapa dari penyakit yang ada sebenarnya dapat sepenuhnya dicegah jika akses untuk hidup bersih lebih memungkinkan di sana. Hal ini sendiri cukup kompleks untuk diatasi karena tidak hanya membutuhkan pendidikan dasar tentang kebersihan tetapi juga infrastruktur yang memadai untuk mengakses air bersih serta rumah adat yang sehat.

Sebagai catatan, jika kualitas kesehatan penduduk asli Papua hanya diukur dari jumlah klinik atau rumah sakit yang ada di daerah tersebut akan mengabaikan alasan ‘mengapa’ beberapa penyakit yang umumnya dapat dengan mudah ditangani namun masih banyak ditemukan di masyarakat.

Pengajuan pertanyaan ‘mengapa?’ ini tidak hanya dilihat dari pandangan kuratif tetapi juga dari sudut pandang pencegahan yang memerlukan pendekatan interdisipliner yang sangat luas terhadap masalah yang ada. Anekdot ini menjadi bukti bahwa masalah kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan budaya erat berkaitan satu dengan lainnya.

Pendekatan akan penyelesaian permasalahan kesehatan yang saling terikat namun rumit tersebut tidak hanya memberikan solusi untuk meraih kebebasan dari penindasan fisik yang disebabkan beberapa penyakit umum yang berkelanjutan. Namun juga memberikan kebebasan untuk memiliki akses dalam mengklaim hak-hak mereka terhadap pelayanan kesehatan dasar sampai dengan tindakan penyembuhan untuk menghentikan terulangnya kondisi tubuh yang menindas.

Pada intinya, ketika membahas kesehatan dalam konteks ini, keinginan untuk terbebaskan dari secara otomatis dapat dicapai setelah kebebasan untuk tercapai.

Kompleksitas masalah lain yang dihadapi oleh orang Papua adalah tidak meratanya distribusi sumber daya. Hal ini menyebabkan banyak orang asli Papua tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk memulai dialog musyawarah, bukan hanya untuk mengamankan hak-hak mereka, tetapi juga untuk memperluas dan mengklaim hak yang mereka tidak miliki layaknya masyarakat yang tinggal di Indonesia bagian barat.

Dengan melihat situasi Papua saat ini yang sungguh tertinggal jauh dibanding Indonesia bagian barat, menjadi sangat mudah bagi orang asli Papua untuk bertanya akan manfaat dari memiliki identitas tambahan yang dibangun dan melekat terhadap identitas bangsa Indonesia. Maka dari itu, akan lebih bijaksana untuk memahami bahwa teriakan kemerdekaan mereka tidak hanya berasal dari keinginan maupun perasaan sementara.

Inilah jeritan permohonan bantuan dari kondisi yang menindas yang telah lama tidak digubris selama bertahun-tahun dan sekarang telah mengakar menjadi keinginan yang begitu kuat untuk kebebasan.

Penulis: Ben Kristian Citto Laksana
Penerjemah (ke Bahasa Indonesia): Sherly Wijaya Sari
Penyunting Terjemahan: Rara Sekar Larasati