9 Januari 2017

Menempatkan Pendidikan Dalam Konteks

Share

Berbicara tentang penyediaan layanan pendidikan di area yang diterlantarkan selama puluhan tahun, kita sedang berbicara tentang area yang mengalami ketertinggalan pembangunan infrastruktur dasar. Area-area tersebut umumnya berlokasi di wilayah terluar Indonesia. Seringkali kita mendidik mereka melalui pendekatan pembangunan “dari atas ke bawah” (top-down).

Pada titik tersebut, kita perlu berhenti sejenak dan merefleksikan pendekatan ini dalam rangka menyediakan layanan pendidikan yang tepat.

Mengaplikasikan sistem pendidikan melalui pendekatan tersentralisasi yang berfokus pada pendekatan urban yang terbukti aplikatif bagi penduduk kota besar dan sekitarnya, telah mengabaikan kenyataan bahwa tidak semua orang tinggal di kota besar.

Apakah mungkin pendidikan disampaikan dengan metode pendekatan lain, yang mempertimbangkan penduduk di area rancangan tujuan?

Mungkin pertanyaannya bukan hanya apakah pendidikan dapat ditempatkan dalam konteks yang sesuai dengan kebudayaan setempat, kondisi geografis, dan kebutuhan sosial masyarakat lokal tapi apakah pendidikan dapat ditempatkan dalam konteks yang sesuai bagi penduduk yang tinggal di lokasi terpencil dan wilayah terluar negara kepulauan Indonesia.

Salah satu contohnya adalah layanan pendidikan untuk penduduk yang tinggal di wilayah pegunungan Papua, area dimana akses terhadap pendidikan dan kesehatan dasar masih langka. Apakah metode pendidikan bagi mereka perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi dan tantangan sosial yang harus dihadapi penduduk Papua? Ini menjadi bukti nyata untuk membandingkan situasi kehidupan penduduk Papua dengan penduduk urban di Indonesia, misalnya penduduk yang tinggal di Pulau Jawa.

Atau perlukah program pendidikan terstandardisasi yang dirancang berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia?

Pertanyaan ini perlu diajukan dan dijawab ketika hendak merancang metode pendidikan untuk diadaptasi oleh penduduk wilayah terpencil Indonesia. Proses ini tidak hanya menyediakan keterampilan dan pengetahuan spesifik bagi penduduk sesuai rancangan program, namun juga akan mengubah perspektif mereka dalam kehidupan. Bertentangan dengan keyakinan banyak orang, hal ini justru dapat menimbulkan bencana, baik bagi mereka maupun lingkungan terdekat mereka.

Ambil contoh layanan pendidikan di Hitadipa, perkampungan kecil dekat Sugapa, ibukota Kabupaten Intan Jaya. Hanya tersedia sebuah sekolah untuk jenjang SD dan SMP. Kebanyakan murid menempuh SMP (kelas 9). Sebagian besar kemudian melanjutkan ke SMA (kelas 10-12) di Sugapa. Jika memungkinkan, mereka melanjutkan ke universitas di kota Jayapura atau bahkan di Pulau Jawa.

Namun setelah menyelesaikan studi, sejumlah besar anak muda berpendidikan ini sulit mendapat pekerjaan atau sulit mengaplikasikan ilmu yang mereka peroleh untuk membangun daerahnya. Maria (22 tahun) adalah contoh warga yang harus menghadapi situasi ini.

“Saya baru saja menyelesaikan kuliah program IT dari universitas di Bandung, Jawa Barat. Tapi sekembalinya ke Hitadipa, satu-satunya pekerjaan yang tersedia hanyalah membantu orang tua di ladang. Di Sugapa sekalipun – dimana pemerintah daerah mencari anak-anak muda berpendidikan tinggi untuk mengisi lowongan pekerjaan – kompetisi untuk mendapatkan pekerjaan sangatlah tinggi sehingga saya tidak yakin akan mendapat pekerjaan di sana.”

Di satu pihak, perlu pertimbangan dalam hal metode penyediaan layanan pendidikan. Di pihak lain, muatan (content) pendidikan pun perlu dipertimbangkan. Jika pendekatan yang digunakan adalah metode terstandardisasi yang ditentukan pembuat kebijakan dengan persepsi pendidikan yang terdistorsi lensa kacamata penduduk urban Jakarta, pendidikan tidak akan pernah tepat bagi penduduk yang tinggal di lokasi terpencil, misalnya di pedesaan Papua.

Penduduk Papua saat ini dididik dengan metode yang memungkinkan mereka beradaptasi dengan kebanyakan penduduk Indonesia lainnya, dimana pemerintah pusat menganggapnya lebih modern dan lebih tepat untuk masyarakat abad ke-21.

Padahal, ketika mendidik orang yang tinggal di lokasi terpencil Indonesia seperti Papua, pertanyaan dasarnya adalah: untuk siapa dan apa tujuan pendidikan bagi mereka? Apakah kepentingan dan kebutuhan mereka diutamakan? Atau mereka hanya dididik untuk bisa beradaptasi dengan identitas Indonesia yang pada dasarnya Jawa-sentris, dan kehilangan identitas mereka sendiri dalam proses pendidikan sebagai hasilnya?

Mempertimbangkan keterbatasan infrastruktur dasar di berbagai wilayah Papua, upaya memaksakan “peningkatan sosial” sistematis semacam ini telah menyangkal tujuan dasar jaminan penyediaan layanan dan sistem pendidikan.

Masyarakat daerah terpencil tidak akan dapat mengambil manfaat penuh dari pendidikan berbasis urban terstandardisasi yang mereka terima, semata-mata karena kenyataan bahwa mereka tidak tinggal di lingkungan perkotaan modern.

Solusi yang umum diambil oleh penduduk daerah terpencil untuk mengatasi isu ini adalah dengan keluar dari daerah tempat tinggal mereka dan pergi “merantau”. Ini menjadi upaya yang umum dilakukan penduduk di luar Pulau Jawa untuk mengejar kebahagiaan yang diterjemahkan sebagai “perjalanan ke pulau lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik.”

Apa gunanya pendidikan seseorang jika ilmu dan keterampilan yang diperolehnya tidak bisa diaplikasikan di tanah kelahirannya?

Mereka juga tidak bisa berharap mendapat kesempatan kerja di lingkungan sekitar karena peluang lapangan kerja yang sangat langka. Pendidikan yang susah payah mereka peroleh jadi tidak bermanfaat untuk diri mereka maupun untuk membangun daerah mereka.

Situasinya bahkan lebih parah karena mereka tidak diajarkan tentang bagaimana menerapkan keterampilan dan pengetahuan dalam konteks isu-isu sosial yang dihadapi komunitas lokal. Pendidikan bagi mereka menjadi tidak lebih dari sekadar metode untuk berpartisipasi dalam sistem yang sudah mapan berbasis urban dan daerah berkembang.

Selain itu, pendidikan semacam itu dapat merusak identitas budaya suatu masyarakat. Upaya untuk mengurangi dampak negatif dari pembangunan ini sangat tidak signifikan. Pengambil keputusan seringkali hanya merancang program-program seperti ‘muatan lokal’ dimana murid diwajibkan belajar bahasa lokal dan sesekali belajar alat musik tradisional. Program yang dirancang jarang merujuk pada isu-isu sosial mendasar yang sehari-hari dihadapi masyarakat daerah pinggiran.

Dengan asumsi bahwa mendidik masyarakat di daerah-daerah pinggiran adalah mutlak diperlukan dan didambakan, harus diperhitungkan bahwa masalah yang mereka hadapi setiap hari mungkin saja lebih kompleks daripada isu-isu yang dihadapi masyarakat perkotaan.

Akhirnya, bentuk pendidikan yang harus disediakan juga harus mengacu pada isu-isu lokal. Jika masyarakat lokal harus dididik, lokalitas pendidikan harus jadi pusat perhatian saat merancang program.

Penulis: Ben K. C. Laksana
Penerjemah (ke Bahasa Indonesia): Maria Yuly IndartoPenyunting Terjemahan: Sylvie Tanaga