16 Januari 2017

Membangun Media Organisasi yang Berdampak

Share

Ketika dipercaya mengemban tanggung jawab sebagai koordinator Divisi Media doctorSHARE beberapa tahun silam, pikiran saya sederhana. Saya berpikir tugas utama saya hanyalah memastikan agar seluruh aktivitas sosial doctorSHARE terdokumentasi dengan baik, supaya jejaknya tak hilang begitu saja. Maka saya pun berusaha menulis kegiatan demi kegiatan dengan sedikit jeprat-jepret kamera.

Sangat sederhana kan? 

Selama blusukan di lapangan, saya pun sadar bahwa isu kesehatan yang menjadi fokus kegiatan doctorSHARE ternyata berkorelasi amat erat dengan kehidupan sosial-politik-budaya masyarakat setempat – paling tidak dalam pengamatan saya secara kasat mata. Sebaliknya, berbagai permasalahan kesehatan yang muncul juga sangat mempengaruhi kehidupan harian warga. 

Lama kelamaan saya pun berpikir betapa sempitnya doctorSHARE jika sekadar membingkai narasinya hanya sebatas kegiatan atau “jasa” yang sudah dilakukan tanpa pernah menyinggung bingkai yang lebih luas. Padahal, doctorSHARE pergi ke wilayah-wilayah yang bisa dikatakan terpencil, lokasi yang relatif jarang mendapat pemberitaan dari media-media mainstream.

Tanpa kemampuan melihat dari kacamata yang lebih besar, maka yang tersaji kira-kira hanyalah sejenis “doctorSHARE telah melakukan pelayanan medis yang diikuti sekian pasien” atau “Si A menderita karena selama ini tak ada puskesmas, maka doctorSHARE menolong si A”. Itu baik dan penting, tapi narasi yang lebih utuh tak akan pernah tersentuh. 

Publik jadi sulit melihat dari kacamata yang lebih luas, misalnya bagaimana masyarakat lokal selama ini bertahan hidup, bagaimana perasaan mereka, bagaimana pandangan mereka terhadap kehidupan, bagaimana mereka selama ini berjuang untuk layanan pendidikan dan kesehatan, bagaimana lingkungan mempengaruhi cara mereka hidup, dan sebagainya.

Saya ambil contoh tradisi hane zambaya di Papua. Dalam tradisi ini, orang Papua akan “melukai” diri dengan cara menyayat anggota tubuh seperti kening, tangan, dan paha ketika jatuh sakit. Mereka meyakini darah kotor dalam tubuh harus dikeluarkan saat mengidap penyakit. Anda yang tak pernah ke Papua mungkin akan segera berpikir betapa bodohnya mereka melakukan hal tersebut. 

Tapi ternyata inilah cara warga bertahan melawan penyakit dengan caranya sendiri. Sangat sulit bagi mereka untuk menahan rasa sakit di tengah ketiadaan akses dan fasilitas kesehatan. Luka sayatan setidaknya membantu mengalihkan rasa sakit itu. Seandainya ada layanan kesehatan, mungkin saja tradisi ini tak muncul (baca: “Tradisi Hane Zambaya dan Pengalihan Rasa Sakit”). 

Sekilas, hal ini relatif tak terkait langsung dengan kegiatan yang dilakukan doctorSHARE. Tapi tradisi ini jelas memperlihatkan betapa masih memprihatinkannya kondisi warga daerah terpencil. Mereka yang berada dalam kondisi darurat tak bisa berbuat banyak selain pasrah. Meski ini cerita klasik, tanpa narasi liputan yang baik, publik akan berpikir ini hanyalah salah satu versi story telling lainnya. 

Dengan demikian, saya pun berusaha memberi kesempatan pada tiap relawan Divisi Media untuk berkreasi menggali sisi lain dari masalah lapangan – tak melulu hanya menampilkan kegiatan pelayanan medis. Saya bahkan mewajibkan tiap relawan untuk berlatih mengamati, mewawancarai, menganalisa keadaan, dan mengeluarkan analisa opini. Mereka bukan hanya jadi “tukang jepret” atau “kuli tinta” yang jago secara teknis tapi miskin kreasi dan pemikiran.

Ini bukan perkara mudah karena sistem pendidikan Indonesia selama ini tak melatih seseorang berpikir kritis sehingga tak setiap orang memiliki kemampuan untuk melihat suatu permasalahan secara jeli. Maka saya pun mendorong relawan untuk terlebih dulu melakukan riset data, mendiskusikan isu yang muncul, konsep-konsep yang perlu diulas sebelum peliputan, juga editing ketat terhadap hasil liputan. 

Selain itu, saya juga terus mendorong rekan-rekan medis doctorSHARE untuk turut menuangkan kreasi dan pemikirannya dalam bentuk foto, video, maupun tulisan. Isinya tak melulu persoalan medis. Saya sadar bahwa selama ini tak banyak dokter atau perawat hebat tanah air yang bersedia menulis padahal apa yang mereka alami dan pikirkan sesungguhnya menarik.   

Perjuangan ke arah ini belum selesai, tapi paling tidak sedikit demi sedikit saya sudah bisa melihat hasilnya. Produksi konten sudah sangat beragam dengan analisa personal yang menarik. 

Harus diakui bahwa menjalankan fungsi media di bawah bendera organisasi – sekalipun berusaha dijalankan dengan prinsip jurnalisme yang baik – tetap akan menimbulkan bias. Saya akui bahwa sisi meliput kegiatan sebagai bagian dari dokumentasi harus tetap dijalankan. Namun rasanya tidak ada salahnya memulai upaya untuk memperlihatkan kondisi dan analisa dari pengalaman di lapangan, terutama untuk hal-hal yang jarang diketahui dan diulas di publik.

Adapula yang bertanya bukankah hal ini juga akan mengaburkan fokus pelayanan medis doctorSHARE? Tidak juga. Caranya adalah dengan mengombinasikan berita kegiatan dengan feature-feature dan essay yang bersifat mikro (menampilkan satu-dua contoh wawancara dengan warga lokal) dan makro (menarik contoh tersebut ke analisa yang lebih luas, termasuk membandingkannya dengan data-data riset yang sudah pernah dibuat sebelumnya). 

Dengan demikian, media doctorSHARE tidak melulu berupaya memuaskan “nafsu narsistik” alias pencitraan organisasi (take a picture of me, highlight my works!) tapi lebih dari itu, berupaya memberi sudut pandang yang lebih luas sekalipun tak mendapat “jempol” di media sosial sebanyak jika menampilkan “penderitaan dan jasa yang telah dilakukan untuk mengatasi penderitaan itu”. 

Catatannya, doctorSHARE tidak pernah mengklaim bahwa apa yang dilakukan sudah menyuarakan mereka yang tak punya suara (voicing unvoiceless people). Pun saya akhirnya memutuskan tidak akan berfokus pada branding organisasi – seperti yang dinasihatkan oleh Zubair Sayed, kepala bagian komunikasi Civicus, sebuah NGO bidang kemanusiaan yang bermarkas di Afrika Selatan. 

Branding hanya akan membuat doctorSHARE selalu memunculkan topeng pencitraan yang akhirnya membuat organisasi tidak mampu mengevaluasi dirinya sendiri secara kritis. Branding memang sangat penting bagi dunia korporasi – demi menggenjot market. Tapi saya sadar bahwa mengelola media NGO cukup berbeda dengan media korporasi. 

Mengapa tidak membiarkan publik melihat keunikan organisasi dan permasalahan lapangan dari kacamatanya masing-masing? Mengapa tidak jika kita memberi publik kesempatan untuk turut mengutarakan opininya terkait suatu permasalahan yang kami lihat di lapangan, mengkritik kami, dan setelahnya memberi sejumlah masukkan yang berharga bagi pengembangan organisasi? 

Sebagai koordinator media, saya juga tidak pernah menerapkan indikator keberhasilan hanya pada jumlah mention dan jempol di media sosial. Yang jauh lebih penting adalah apa yang kami lakukan bisa memberi wawasan bagi siapapun yang menyaksikannya. Dengan kata lain, apa yang kami lakukan dapat berdampak luas – tak hanya menggaet calon donatur atau calon relawan. 

Dalam jangka panjang, bukan tak mungkin upaya ini memberi sumbangsih berskala lebih luas, misalnya membantu pemetaan masalah dari wilayah terpencil tanah air, menginspirasi publik untuk membuat berbagai gerakan kemanusiaan, atau bahkan mendorong terjadinya sinergi dengan organisasi sosial kemanusiaan lainnya. 

Di sisi lain, upaya ini tentu akan sangat bermanfaat bagi kepentingan organisasi secara internal. Selain berfungsi sebagai jejak rekam, organisasi dilatih untuk lebih berpikir kritis dalam memandang permasalahan yang lebih dari kacamata medis, lebih jeli melihat akar budaya tanpa menghakimi, dan pada akhirnya dapat melahirkan kebijakan dengan pendekatan yang lebih bottom up ketimbang top down (tidak mengulangi kesalahan pemerintah). 

Upaya menuju hal ini tentu sangat tidak mudah, bahkan menjadi tantangan tersendiri. Butuh relawan media yang lebih dari sekadar pandai mengoperasikan kamera. 

Butuh kerajinan ekstra dari seluruh relawan untuk mau belajar mendengar langsung apa kata masyarakat, tak hanya merasa diri sebagai sinterklas yang posisinya di atas masyarakat yang ditolong – terlebih jika program yang ingin dikembangkan bersifat pemberdayaan jangka panjang yang mensyaratkan insiatif bersama warga lokal. 

Sebagai pelengkap, tak dapat dipungkiri bahwa estetika penyajian akan mempengaruhi distribusi konten. Kualitas pembuatan konten media yang sudah baik harus dibarengi dengan kekuatan distribusinya. Misalnya tetap memperhatikan perkembangan tren media digital di samping gerilya kopi darat. Sekali lagi, bukan berarti indikator dampak jadi bergantung pada “tren pasar” tapi paling tidak, makin banyak dibaca/ditonton meningkatkan peluang menjadi bahan diskusi publik.


“If you want to change the world, pick up your pen and write.” ― Martin Luther