2 April 2017

Pengambilan Sampel Penelitian Keragaman Genom dan Penyakit di Kampung Basman, Papua

Share

“Kalian pergi ke Papua bersama doctorSHARE ya.”

Tugas ke Papua itu datang 10 hari sebelum jadwal keberangkatan, buah dari pertemuan Lembaga Eijkman dengan doctorSHARE beberapa hari sebelumnya. Dalam tempo singkat, saya dan Gludhug menyiapkan seluruh perizinan, proposal, formulir partisipan, serta perlengkapan untuk mengambil sampel.

Informasi internet mengenai Kampung Basman di Kabupaten Mappi sangatlah terbatas. Jangankan mampu memperkirakan waktu dan rute perjalanan. Ketika membuka peta, saya hanya melihat sebuah titik yang dikelilingi hutan dan aliran sungai tanpa keterangan lainnya.

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman telah meneliti keragaman genom dan penyakit pada populasi etnik Indonesia selama dua dekade terakhir di penjuru nusantara. Meski pernah mengambil sampel di Papua, tingginya keragaman suku serta sulitnya akses daerah-daerah sangat pelosok menyebabkan kami belum mendatangi berbagai lokasi penting. Oleh karenanya, kami tak melewatkan kesempatan berangkat bersama tim Dokter Terbang doctorSHARE.

Bukan main jauhnya jarak yang harus kami tempuh menuju Kampung Basman. Untuk menginjak tanah Papua saja, makan waktu enam jam dan berpindah dua zona waktu (Jakarta – Merauke). Beruntung, hari itu tersedia pesawat amfibi Cessna berkapasitas delapan penumpang yang dapat mengantar kami dalam waktu satu jam dari Merauke ke Keppi, ibukota Kabupaten Mappi.

Pilihan lainnya adalah melalui jalur darat selama 12 jam dari Merauke (yang kami rasakan juga pada perjalanan pulang). Di Keppi, kami sempat berbincang dengan Bapak Bupati, anggota DPRD, dan kepala Dinas Kesehatan mengenai maksud dan tujuan kedatangan kami.

Dari “Kota Seribu Rawa” Keppi, butuh waktu empat jam ber-speed boat mencapai Kampung Senggo dimana kami bisa memperoleh listrik memadai untuk membekukan ice pack guna menyimpan sampel serta mendinginkan bahan untuk tes golongan darah. Kami lanjut menyusuri rawa-rawa empat jam berikutnya untuk mencapai Kampung Basman. Begitu tiba, kami disambut gerombolan anak yang dengan sigap membantu menurunkan muatan dari speed boat.

Di Kampung Basman yang gersang, langit biru memancarkan terik yang menyengat. Warga sudah tahu maksud kunjungan kami dan menyambut dengan gembira. Kedatangan kami yang terdiri dari dokter, perawat, peneliti, dan pemerintah daerah membuat Kampung Basman yang biasanya sunyi jadi meriah. Para pria memasang terpal di halaman puskesmas pembantu (pustu). Warga lalu lalang, penasaran dengan kehadiran sekelompok wajah-wajah asing ini.

Penduduk Kampung Basman terdiri dari suku Citak, Kombai, dan Korowai. Secara tradisional, orang Korowai tinggal di rumah yang dibangun di pucuk pohon tinggi dan hidup sangat sederhana dengan berburu meramu. Hingga kini, masih ada masyarakat Korowai yang tinggal di rumah pohon.

Di Basman dan kampung tetangga bernama Mu I, terdapat deretan rumah bantuan dari Dinas Sosial yang melapuk karena banyak yang tidak dihuni. Padahal, usianya belum sampai lima tahun. Rumah-rumah tersebut merupakan upaya pemerintah untuk merumahkan masyarakat Korowai. Ketiadaan fasilitas saluran air maupun lahan garapan menyebabkan mereka memilih kembali ke hutan. Nyaris tidak ada keramaian di kampung ini kecuali ibadah Minggu di gereja.

Sebuah bangunan sekolah kokoh berdiri namun sunyi karena tak ada guru yang mengajar. Pustu hanya sesekali ditengok mantri dan dokter dari puskesmas tetangga karena tidak ada staf dokter atau perawat. Tidak ada listrik, hanya genset. Tidak ada sinyal telepon, bahkan lima hari tanpa kabar membuat rekan-rekan kerja kami di Jakarta cemas bukan kepalang.

Tidak ada pula air bersih. Warga hanya mengandalkan air hujan. Air rawa melimpah namun berwarna cokelat, berbau, dan menyebabkan gatal. Tak ada pilihan, warga tetap menggunakannya untuk kebutuhan harian. Tak heran, warga sangat rentan terserang sakit kulit dan diare. Cacing ascaris nyaman bermukim di perut anak-anak sehingga sebagian besar mereka berperut buncit. Rambut mereka pun menguning tanda kurang nutrisi.

Saya melihat seorang anak laki-laki asyik menjilati bumbu mie instan yang ia tuang ke telapak tangannya, seperti penganan saja. Para balita berlarian dengan ingus kental meleleh abadi di hidung. Anak maupun dewasa umumnya hanya memiliki sepotong baju, yang dipakai hingga kumal dan compang-camping. Sanitasi jadi kemewahan. Apa daya, nyaris tak ada apa-apa di sini. Tidak ada infrastruktur yang memadai agar hidup mereka lebih manusiawi.

Awalnya, saya pikir perbedaan bahasa akan jadi kendala dalam pengambilan sampel. Selain itu, saya juga pernah mendengar bahwa orang Papua sangat sensitif dengan pengambilan darah karena secara adat, darah dipandang sakral. Kekhawatiran rupanya terpatahkan. Selama tiga hari di Basman, ratusan orang datang berbondong untuk memeriksakan darahnya.

Lembaga Eijkman mengambil sampel darah untuk penapisan (screening) malaria secara mikroskopis dan molekuler karena Papua merupakan wilayah endemik malaria. Selain itu, kami juga mengambil sampel dari orang dewasa perwakilan keluarga sebanyak tiga generasi ke atas, yang tidak kawin campur dengan suku lain guna melihat kekerabatan antar populasi serta mendapatkan gambaran sejarah migrasi manusia.

Secara khusus penelitian ini ditujukan untuk mengetahui struktur populasi dan keanekaragaman genom terkait dengan penyakit kelainan sel darah merah Southeast Asian Ovalocytocis (SAO). SAO adalah salah satu bentuk adaptasi di wilayah endemik malaria di mana sel darah merah berubah bentuk menjadi oval sebagai mekanisme pertahanan dari parasit malaria. Kami juga melakukan pemeriksaan golongan darah, yang hasilnya bisa langsung dibawa pulang.

Antusiasme warga membuat kami kebanjiran peminat. Beruntung tim Eijkman dibantu oleh Mama Ocha (bidan), Kakak Jenny (bidan), dan Paman Baso (mantri) dari Puskesmas Amazu. Pengisian formulir silsilah keluarga menjadi hal yang krusial untuk penelitian keanekaragaman genom.

Awalnya, warga agak bingung mengapa ini diperlukan dan banyak yang berusaha mengingat nama-nama keluarga mereka. Banyak yang ditertawakan temannya karena lupa nama kakek atau nenek sendiri. Sungguh terharu, beberapa warga yang datang bahkan sudah membawa kertas catatan berisi nama-nama keluarga dan menyatakan ingin diperiksa darahnya.

Meski belum pernah disuntik, warga memberanikan diri diambil darahnya. Anak-anak pun tak takut ditusuk jarinya untuk pemeriksaan malaria. Warga mengerubungi meja, penasaran dengan gerakan tangan kami memasukan darah ke dalam tabung serta sederet peralatan pengambilan sampel yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Wajah mereka berseri-seri saat menerima kartu golongan darah yang akan bermanfaat, misalnya bila perlu transfusi atau donor darah.

Di tengah keterbatasan fasilitas, saya melihat tingginya kepedulian warga Basman akan kesehatan. Ibu-ibu tak segan memukul anaknya yang menangis karena menolak minum obat cacing yang diberikan tim doctorSHARE. Hingga hari terakhir kegiatan, warga dari kampung yang jauh terus berdatangan untuk pemeriksaan kesehatan maupun bedah minor.

Bayangkan, berapa harga bahan bakar speed boat yang harus mereka gelontorkan untuk perjalanan dua jam ke puskesmas terdekat yang memiliki dokter di Amazu? Kesehatan adalah dasar penting bagi tiap individu untuk melangsungkan kehidupannya. Penduduk Basman merindukan akses pelayanan kesehatan yang terjangkau dan inklusif, keadilan sosial yang berhak mereka dapatkan sebagai warga Indonesia.

Masih banyak tantangan dari segi infrastruktur, akses, dan sumber daya untuk mewujudkan Indonesia Sehat di Basman ini. Semoga kedatangan aparat pemerintah daerah bersama kami dapat mewujudkan percepatan pembangunan di wilayah ini.

Selama tiga hari, pelayanan kesehatan doctorSHARE dan pengambilan sampel oleh Lembaga Eijkman telah selesai. Kami mengumpulkan lebih dari 300 sampel darah yang akan dianlisis di Jakarta. Jalan panjang menuju ibukota kembali ditempuh sembari berharap hujan turun sehingga penduduk mendapatkan air. Kami berharap dapat kembali ke Basman begitu hasil analisis diperoleh dan sungguh berharap akan hadirnya guru, dokter, dan kehidupan yang lebih baik di kampung ini.

*Isabella Apriyana, S.Si adalah asisten peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman