4 Februari 2019

Bakti Diri untuk Bangsa

Share

Sejujurnya tak pernah terbayangkan bisa berlayar bersama doctorSHARE. Pergi ke tempat-tempat yang sulit dijangkau, bahkan mungkin belum tersedia akses dari pemerintah. Kesempatan itu datang dari kakak kelas saya di Fakultas Kedokteran, Universitas Pelita Harapan. Ia meminta untuk menggantikan tugasnya sebagai relawan. Saya segera menerima tawaran itu dengan sangat bersemangat, meskipun tidak mengenal siapapun dan kemana tujuannya. Pelayanan medis pertama saya bersama doctorSHARE yaitu di Pulau Mayau, Ternate, Maluku Utara.

Si “Bahenol” panggilan akrab Rumah Sakit Apung (RSA) dr. Lie Dharmawan harus menempuh 16 jam perjalanan dari Ternate ke Pulau Mayau. Jika dilihat di peta, Pulau Mayau hanya berupa satu titik kecil antara Sulawesi Utara & Maluku Utara. Mabuk laut tak dapat dihindarkan saat menempuh perjalanan laut dengan Bahenol. Sepertinya itu mabuk laut terparah dalam hidup saya. Perjalanan pulang kembali diwarnai oleh mabuk laut ditambah badai yang menghantam Bahenol. Mungkin sudah sering diceritakan bagaimana Bahenol berjuang untuk bertahan di tengah ganasnya laut Maluku.

Tiga bulan setelah Pulau Mayau saya kembali mendapat kesempatan mengikuti pelayanan medis yang diselenggarakan di Pulau Banda, Maluku Tengah. Saat itu sedang ada larangan resmi dari pemerintah untuk melaut karena cuaca buruk. Perjalanan dialihkan dari jalur laut ke jalur udara. Kami kesulitan mencari maskapai penerbangan yang bersedia mengantarkan tim kami. Jalan keluar ditemukan, akhirnya kami menggunakan pesawat milik TNI AU menuju Pulau Banda.

Perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam dengan pesawat baling-baling. Ini merupakan pengalaman pertama saya menaiki pesawat berukuran kecil. Selama perjalanan angin bertiup kencang, pesawat terasa menari di udara, membuat saya tegang dan cukup takut. Saat menulis goresan relawan ini, saya sedang mengikuti pre-pilot rumah sakit apung ketiga doctorSHARE, RSA Nusa Waluya II di Muara Kaman, Kalimantan Timur. Seperti pelayanan medis sebelumnya, kami menggelar balai pengobatan dan screening pasien bedah mayor dan minor di desa Muara Kaman.

Muara Kaman dapat dicapai melalui perjalanan darat dengan waktu tempuh sekitar 8 – 10 jam dari Balikpapan. Selama mengikuti pelayanan medis bersama doctorSHARE, begitu banyak hal yang saya pelajari. Bukan hanya sekedar dari segi keilmuan karena didukung oleh dokter-dokter bedah yang tak pernah pelit membagikan ilmu, maupun rekan sejawat dokter umum yang selalu membagikan pengalamannya. Bersama doctorSHARE saya mempelajari pelajaran hidup yang membuat saya bercermin kembali.

Mungkin terdengar klise tetapi percayalah saat hati yang bersih dan niat yang tulus, bersama-sama bergandengan tangan melayani bangsa ini, saya yakin siapapun pasti akan mengutarakan hal yang sama. Hal yang membuat saya bangga menjadi relawan ialah semangat “Papi” yang terus ia tularkan dan kobarkan. Papi adalah panggilan akrab para relawan kepada pendiri doctorSHARE, dr. Lie Dharmawan. Dua pilar yang menyokong pelayanan beliau yaitu iman dan nasionalisme, dibagikan kepada kami dengan penuh rendah hati.

Di mata saya, beliau merupakan sumber inspirasi yang tak pernah berhenti, terus mendorong kami untuk berani mengejar mimpi. Pada akhirnya saya diingatkan akan tugas dan tanggung jawab saya sebagai seorang dokter yang ditempatkan di negeri ini. Suatu kutipan dari John Piper yang sejalan dengan dorongan Papi, “If you live gladly to make other glad in God, your life will be hard, your risks will be high and your joy will be full.” Hal lain yang membuat saya terkesan yaitu kerjasama tim yang tidak pernah saya temukan di tempat lain.

Moto “no one left behind” sungguh terealisasikan, semuanya saling bahu-membahu, mengerjakan apapun yang bisa dilakukan. Jadi tak heran ketika melihat dokter yang mengepel ruang tindakan, hingga dokter spesialis yang mendorong bed pasien atau mengangkat-angkat kontainer. Melalui momentum kapal hampir tenggelam karena badai di Pulau Mayau pada paragraf awal, saya menemukan keluarga baru. Jika pernah mendengar frasa teman sehidup semati, kami mengalaminya.

Bersama-sama hidup selama tujuh hari diatas kapal, bahkan hampir mati bersama dalam waktu yang singkat. Sungguh pengalaman hidup yang tak bisa terulang lagi. Saya bertemu dengan orang-orang hebat, “gila”, tangguh, memiliki hati demi negeri tercinta, serta tangan yang terbuka untuk membangun Indonesia. Pertemuan ini merupakan suatu teladan dan tantangan bagi diri saya sendiri agar lebih banyak berbuat. Membaktikan diri guna meningkatkan kualitas kesehatan tanah air Indonesia.