14 Maret 2020

Suku Laut, Janji Leluhur dan Pewaris yang Hampir Punah

Share

“Hewan dan tanaman langka saja kita lestarikan, masak ada suku yang hampir punah, Suku Laut, kita biarkan begitu saja?”

Suara dr. Lie A. Dharmawan Ph.D, FICS, Sp.BTKV yang perlahan tapi penuh keyakinan itu menyelinap diantara para tamu yang senja itu mengerumuninya. Diatas Rumah Sakit Apung Nusa Waluya II yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta pada 3 Maret 2020 lalu, Getaran pesan itu melayang perlahan lalu menghujam hatiku.

Saat itu aku berdiri di antara kerumunan para tamu yang sedang mensyukuri 10 tahun pengabdian doctorSHARE, sebuah yayasan nirlaba yang didirikan dr Lie untuk menyediakan pelayanan medis pada mereka yang membutuhkan, namun tak memiliki akses di daerah – daerah terpencil di negeri ini.

“Punah atau tidaknya segala sesuatu, itu kan tergantung pada survival of the fittest.” Tanpa sadar aku berbisik dalam hati – meski kemudian merasa jengah akan kecerobohan pikiranku sendiri.

Dan betul saja, ‘karma’ bekerja super cepat. Tak terbersit dalam benakku bahwa seminggu kemudian aku bakal dibalas setimpal – turun bersama rombongan sukarelawan doctorSHARE ke Kepulauan Riau. Dan tugasku? Tentu saja, melaporkan tentang Orang Suku Laut!

Tuhan sungguh memiliki sense of humor yang tak terduga. Selama dua pekan, ternyata hatiku dibuat babak belur, luluh – lantak dihajar apa yang kupercayai sebagai teori yang kedengarannya gampang saja – survival of the fittest. Padahal bagi Orang Suku Laut, ini adalah masalah hidup dan mati.

Contohnya langsung hadir. Suatu pagi, sebuah ketukan sangat perlahan terdengar di pintu rumah Lensi Fluzianti di Daik, ibu kota Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Ketika Ketua Yayasan Kajang – Yayasan yang mendampingi dan membela hak – hak Orang Suku Laut itu mengintip, tampak tiga laki-laki Suku Laut yang kucal dan kumal berdiri di depan rumahnya, gamang dan ragu-ragu.

“Kami sudah tiga hari tiga malam melaut, Bunda, tanpa mendapatkan apa-apa,” ujar salah satu dari mereka. “Kalau tidak terpaksa sekali, kami tidak mengetuk rumah Bunda.”

Mendengar cerita yang dikisahkan oleh Lensi atau yang biasa dipanggil Bunda Densi itu, aku melongo. Orang Suku Laut tak lagi mendapatkan ikan dari laut? Siapa sebenarnya Orang Suku Laut?

Orang Suku Laut adalah orang – orang dari Rumpun Melayu yang mendiami pesisir pulau-pulau dan hidup dalam sampan atau perahu kajang. Asal muasal mereka tidak banyak tercatat dalam sejarah, tetapi sudah sejak lama mereka hidup berpindah-pindah secara nomaden secara berkelompok di sampan-sampan di Selat Johor, Kepulauan Riau, di pesisir Sumatera, Bangka dan Belitung.

Di abad 17 pada masa Kesultanan Riau Lingga-Johor-Pahang yang dipimpin oleh Sultan Mahmud, Orang Suku Laut merupakan kekuatan pendukung Sultan baik secara militer ataupun ekonomi.

Mereka adalah ujung tombak keamanan di wilayah pesisir, penjaga wilayah samudera dari para bajak laut dan masuk dalam pasukan perang Sultan.

Sebuah sumber catatan dari Inggris menyebutkan di awal abad 19 ada sekitar 42 ribu Orang Suku Laut menetap di Bintan dan Riau, serta 24 ribu yang tinggal di sekitar Lingga. Mereka sangat disegani karena dipercaya memiliki kekuatan mistis yang mumpuni dan merupakan pelaut-pelaut ulung yang tak ada bandingnya.

Atas jasa-jasa mereka menjaga pesisir dan lautan, Kesultanan Riau Lingga-Johor-Pahang memberikan hak kuasa atas wilayah pada Orang Suku Laut yang tertuang dalam sebuah manuskrip kuno dan peta wilayah. Saat ini manuskrip itu masih ada dan dipegang oleh Tengku Fahmi dari Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga di Pulau Penyengat, Tanjung Pinang. Sedangkan peta wilayahnya disebut ‘Peta Wilayah Takluk Sultan Abdurrahman Muazzamsyah 1885’.

Hak Adat itulah yang digunakan oleh Orang Suku Laut untuk berjaya di wilayah lautan selama berpuluh tahun hingga runtuhnya Kesultanan yang diakibatkan oleh politik adu-domba Belanda. Pada tahun 1913 terjadilah eksodus keluarga Sultan ke Singapura dan kesultanan pun ditutup. Setelah itu, secara perlahan-lahan Orang Suku Laut pun bercerai-berai seperti anak ayam kehilangan induknya. Jumlahnya kian merosot, hingga hanya tinggal 3.931 jiwa atau 806 kepala keluarga di Kabupaten Lingga pada tahun 2018.

Meski sejak tahun 2008 Pemerintah mulai berusaha ‘merumahkan’ Orang Suku Laut atau merelokasi mereka dari kehidupan di sampan yang berpindah- pindah menjadi masyarakat yang menetap dan berusaha ‘memanusiakan’ serta ‘membudayakan’ mereka – perjalanananku selama dua pekan di Lingga mengungkap banyak cerita tentang Orang Suku Laut yang gamang. Mengapa Suku Laut kini sulit mendapatkan ikan di laut? Mengapa mereka terpinggirkan di rumah mereka sendiri? Kisahnya merupakan tulisan tersendiri.

 

Sumber: Yayasan Kajang dan berbagai sumber lainnya